Print friendly

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

18 Jul 2011

Haki di Indonesia


Pembajakan atas hasil karya kreatif dan karya cipta di Indonesia berkembang dengan pesat dan terkesan tidak tertangani dengan baik. Padahal sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect Intellectual Property Rights), seharusnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual dapat dilaksanakan maksimal. Data terakhir dari Business Software Alliance (Kompas, 2 Juli 2005) justru menunjukkan bahwa selama tahun 2004, Indonesia berada diperingkat ke-5 pembajakan peranti lunak terbesar, yaitu sebesar 87%.


Menjelang berlakunya UU Hak Cipta 29 Juli 2003, sebuah toko yang menjual software bajakan di sebuah pusat perbelanjaan Mangga Dua masih ramai dikunjungi pembeli (Kompas, 2 Juli 2005). Data tersebut tidak mengherankan, karena dalam aktivitas bisnis sehari-hari dapat dengan mudah diidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAKI. Kita dapat dapat dengan sangat mudah menemukan berbagai DVD, VCD, dan CD yang dijual dengan harga miring. Jika satu keping DVD original berharga ratusan ribu rupiah dan CD atau VCD original dibutuhkan uang puluhan ribu rupiah, maka dengan uang 5 sampai 10 ribu rupiah, Anda sudah dapat menikmati barang-barang bajakan tersebut. Glodok, Pancoran, Hayam Wuruk, dan Mangga Dua merupakan pusat-pusat peredaran di Jakarta. Sedangkan untuk di Pontianak dapat dengan mudah ditemukan di Pasar Sudirman, Kapuas Indah, Simpang Jl. Juanda, dan bahkan di Mal-mal tertentu.
 

Penjual-penjual keliling yang menjajakan door to door juga tidak kurang jumlahnya. Bahkan film-film yang penayangan perdananya belum dilakukan di bioskop sudah dapat dengan mudah diperoleh DVD atau VCD-nya. Pada intinya dapat ditegaskan bahwa jalur perdagangan barang bajakan memang terbentang cukup luas di Indonesia. Selain film dan lagu, berbagai software komputer dan video game juga dapat diperoleh bajakannya pada tempat-tempat yang sama. Namun memang dibandingkan dengan beberapa negara lain, pembajakan peranti lunak di Indonesia masih tergolong rendah.

Penumpulan Kreasi dapat terjadi akibat pembajakan berbagai karya (Kompas, 2 Juli 2005)Pembajakan peranti lunak di Indonesia belum sampai pada tingkat penggandaan yang luar biasa. Penggunaan peranti lunak bajakan di Indonesia, termasuk di Pontianak terutama banyak dilakukan untuk kepentingan penanganan pekerjaan kantor dan penggunaan di Home PC. Penggunaan piranti-piranti lunak bajakan tersebut tidak terlepas dari mahalnya dana yang dibutuhkan untuk pengadaan berbagai piranti lunak yang usefullable bagi masyarakat pengguna piranti lunak. Produk-produk “Microsoft” merupakan piranti lunak yang paling banyak digunakan secara ilegal di tanah air. Jika asli dari piranti lunak tersebut bisa di atas ratusan dolar, maka para pengguna komputer di Indonesia umumnya menerima paket instant siap pakai ketika mereka membeli PC ataupun notebook.


Pada awal tahun 2005, pengusaha warnet di Pontianak juga turut di razia. Warnet-warnet tersebut tutup dalam beberapa hari dan berusaha membenahi diri, mengganti perangkat lunak bajakannya dengan berbagai piranti open source (free software). Namun sepertinya razia tersebut tidaklah sepenuh hati dan tidak benar-benar untuk tujuan penegakan hukum. Setelah beberapa bulan, berbagai free software yang dapat diakses secara open source tersebut juga sudah berganti kembali pada software-software semula yang lebih usefullable di kalangan pelanggan warnet. Program-program komputer tersebut tentu saja jelas merupakan barang-barang bajakan yang pernah digunakan sebelum razia. Pemerintah daerah dan aparat kepolisian juga terkesan kembali membiarkan pelanggaran HAKI dilakukan.


Selain kasus baru yang disajikan, masih banyak pula kasus-kasus lama di bidang HAKI yang sepertinya tidak terselesaikan di Indonesia. Berbagai pelanggaran atas hak cipta di bidang karya seni banyak menimpa seniman-seniman tanah air. Lagu-lagu yang diciptakan oleh para seniman di Indonesia banyak yang tidak memperoleh royalti layak, bahkan dalam pembuatan kontrak dengan produser rekaman – seringkali mereka dirugikan. Pance Pondaah, James F. Sundah, dan Bimbo adalah beberapa nama artis yang pernah merasakan lemahnya perlindungan terhadap hak cipta atas karya-karya mereka. Banyak mereka di hari tuanya tidak menikmati sama sekali hasil karyanya dan hidup dalam kondisi kemiskinan.


Jika dibandingkan dengan Malaysia, penegakan HAKI di Indonesia boleh dikatakan sangat bertolak belakang. Siti Nurhalizah dengan Kris Dayanti yang sangat berbeda peringkatnya dalam ajang Asia Bagus, di mana Siti peringkat ke-5 sedangkan KD di peringkat I, dalam bidang honor dan penghargaan terhadap karya, Siti lebih baik dibandingkan dengan KD (Kompas, 2 Juli 2005). Malaysia sangat concern dalam menangani masalah hak cipta dibandingkan dengan Indonesia. Sejak tahun 1980-an para pemusik dan artis di negeri Jiran tersebut sudah didampingi lawyer dan publisher yang sangat menghargai penegakan hak cipta.

Pelanggaran hak cipta dan karya intelektual juga terjadi di dalam karya-karya cetak. Tidak jarang berbagai buku difotokopi berulang-ulang tanpa seijin dari penerbit dan pengarangnya. Bahkan di tingkat perguruan tinggi juga kadang-kadang terjadi jiplak-menjiplak skripsi, tesis, dan desertasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa di luar batas pengawasan banyak karya-karya asing yang kemudian disadur menjadi skripsi, tesis, atau desertasi dan akhirnya menghasilkan sarjana-sarjana di Indonesia.

Pembajakan dan pelanggaran HAKI pada dasarnya sama dengan pencurian Dalam sejarahnya, sebenarnya Hak Cipta di Indonesia sudah mulai diatur pada tahun 1982. waktu itu dibuat UU No.6 Tahun 1982 yang kemudian diubah dengan UU No 7 tahun 1987 dan diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 1997, dan terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2002. Dari konteks hukum, sebenarnya UU baru tentang hak cipta sudah sangat progresif dan memadai dalam penegakan HAKI di Indonesia. UU No.19 tahun 2002 sudah memisahkan hak cipta dengan hak rekaman master, seperti yang lazimnya dilakukan di tingkat Internasional.


Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs, Indonesia juga tunduk pada berbagai konvensi internasional yang berada dalam lingkup TRIPs. Konvensi-konvensi tersebut terutama penting, karena dalam kasus HAKI Indonesia juga dapat terlibat kasus dengan negara lain. Beberapa konvensi internasional yang menjadi dasar hukum HAKI antara lain adalah: (1.) Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Good yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994. (2) Konfensi Paris yang diratifikasi melalui Keppres No 15 tahun 1997. (3) Patent Cooperation Treaty (PCT) yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997. (4) The Berne Convention for Protection of Literary and Artistic Works yang telah disahkan melalui Keppres No.18 Tahun 1997 sebagai basis minimal perlindungan. (5) The World Intelectual Property Organization (WIPO) Copyright Treaty (WCCT) dan WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) yang telah disahkan melalui Keppres No. 19 Tahun 1997


Sedangkan dasar hukum nasional yang telah ditetapkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan HAKI di Indonesia adalah:



  1. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
  2. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
  3. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
  4. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
  5. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu (DTLST)
  6. UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
  7. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2001 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman


Kasus hukum bisnis yang terkait dengan HAKI ternyata tidak saja hanya menyangkut pembajakan. Tindakan kriminal yang menyertai bisnis dibalik barang bajakan juga sangat melebar. Salah satunya adalah penggunaan karya-karya bajakan tersebut sebagai kedok untuk turut memperlancar bisnis pornografi. Tidak jarang bersama VCD dan DVD bajakan yang nonpronografi turut pula diperdagangkan berbagai VCD dan DVD yang mempertontonkan pornografi. Tindakan pornografi itu sendiri juga tidak terlepas dari adanya bisnis manusia (traffiking) anak dan wanita yang ditujukan untuk menghasilkan karya-karya pornografi tersebut.


Kasus hukum bisnis HAKI mencakup para pihak yang cukup luas dan kalangan yang sangat majemuk. Para pihak yang dapat terkait dalam kasus hukum bisnis di bidang HAKI dapat saja antara penyanyi, artis, pencipta lagu (seniman) dengan produser atau pengusaha rekaman. Selain itu kasus juga dapat melibatkan antara pencipta peranti lunak, perusahaan pemegang lisensi dengan masyarakat pengguna peranti lunak. Kasus hukum juga dapat terjadi antara pemerintah dengan pemerintah, pengusaha dengan pengusaha, pengusaha barang bajakan dengan seniman, dan masih banyak lagi. Pada intinya kasus hukum bisnis dapat terjadi antara pihak pemilik karya yang dirugikan dengan pihak yang telah dianggap merugikan, karena melakukan pelanggaran terhadap HAKI. Sebenarnya dalam kaitannya dengan kasus antarpihak manapun, pemerintah juga terlibat di dalamnya. Sebab pemerintah memperoleh pendapatan (pajak) dari berbagai karya original HAKI tetapi dirugikan dengan adanya pelanggaran dan pembajakan.

Penegakan hukum di wilayah perbatasan Indonesia


Kasus pencurian sepeda motor dan ternak di Indonesia bukanlah sebuah kasus baru. Tindakan tersebut termasuk masalah hukum yang paling banyak terjadi dan ditangani kepolisian. Pada dasarnya kasus pencurian sepeda motor dan ternak tidak dapat dipandang sebagai sebuah kasus pidana saja, melainkan mencakup pula ruang lingkup hukum yang lebih luas, termasuk di dalamnya hukum bisnis.

Tindakan pencurian sepeda motor dan ternak ditinjau dari aspek hukum pidana merupakan pelanggaran yang berdimensi sosial. Para pelaku pencurian dapat saja melakukan tindakan kriminal dengan tujuan mendapatkan uang guna bertahan hidup, karena tidak memiliki pekerjaan. Ada pula pelaku yang mengaku mencuri untuk biaya operasi atau pengobatan anggota keluarga. Beberapa pelaku yang masih tergolong usia muda, bahkan melakukan pencurian hanya karena ingin memiliki motor. Pada intinya banyak alasan-alasan subyektif yang dapat dikemukakan pelaku kejahatan pencurian.

Hasil aksi kejahatan berupa motor dan ternak tentunya akan dijual oleh para pelaku kejahatan. Berbagai macam cara dilakukan untuk menjual hasil curian tersebut. Jika hasil curian berupa kendaraan, dapat saja dijual setelah kendaraan tersebut dipretelin. Dapat pula kendaraan bermotor tersebut dijual kepada penadah. Rentetan lebih jauh dari penadahan hasil curian adalah pemalsuan berbagai dokumen kendaraan bermotor. Dengan demikian selain berdimensi pidana, kasus pencurian ini juga menyangkut beberapa pelanggaran yang dapat dikaji dengan dimensi Hukum Bisnis.

Permasalahan pencurian sepeda motor dan hewan ternak (sapi), jika menyangkut warga dari negara yang sama tentu akan lebih mudah untuk diselesaikan ketika pelaku tertangkap. Kasus yang disajikan Forum Keadilan No 18, 7 September 2003, menyangkut tindakan pencurian yang dilakukan warga negara lain terhadap milik warga Indonesia. Tentu saja tidak akan mudah untuk menangkap pelaku, dan jika tertangkap, proses hukum terhadap para pelaku juga akan berekses pada hubungan antarnegara.

Masalah yang ada menjadi semakin rumit, ketika para pencuri melintasi batas-batas negara dengan cara yang tidak legal. Sementara aspek “tidak legal” dari lintas batas warga tersebut tidak dapat dengan begitu saja bisa ditangani akibat suatu perubahan tatanan yang memang masih baru dalam proses hubungan kebangsaan Indonesia dengan Timor Leste. Timor Leste memiliki hubungan historis yang sangat mendalam dengan Indonesia dalam periode waktu yang panjang. Timor Leste pernah menjadi salah satu propinsi di Indonesia dalam proses sejarah pengintegrasian pada tahun 1978. Proses panjang sejarah pada akhirnya selesai ketika sebagian besar rakyat Timor Leste memilih untuk menjadi sebuah negara merdeka berdasarkan jajak pendapat 30 Agustus 1999.

Sejarah Timor Leste yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia membuat warga yang ada di kedua negara juga memiliki hubungan historis bahkan perkerabatan yang sangat erat. Tidak jarang karena memiliki kekerabatan, warga di perbatasan kedua negara melakukan lintas batas untuk saling berkunjung satu sama lain. Hanya saja lintas batas tersebut tidak melalui prosedur yang resmi (dalam arti dilengkapi dengan dokumen, misalnya paspor). Warga Timor Leste maupun warga Indonesia di Nusa Tenggara Timur seringkali melalui “jalan-jalan tikus” melintas ke wilayah negara lain untuk saling berkunjung.

Di lihat dari segi sosial, hubungan tersebut memang tidak dapat dihindari dan tidak mudah untuk dicegah. Bahkan tentara Timor Leste ataupun TNI yang dalam batas-batas tertentu mengetahui keadaan tersebut masih membiarkan terjadinya lintas batas “ilegal”. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena masih adanya kelonggaran-kelonggaran yang diberlakukan selama seluruh perangkat sistem pengatur batas-batas negara yang jelas antara RI dan Timor Leste belum ditetapkan. Memang pada saat artikel pada Forum Keadilan dibuat, antara RI dan Timor Leste masih berlangsung beberapa pertemuan untuk membuat kesepakatan batas-batas wilayah. Benturan-benturan kepentingan dan juga pengetatan sistem keimigrasian antara kedua negara belum dapat dilakukan secara konsisten. Kekuatan hukum penuh juga belum dapat ditegakkan, karena belum dimiliki perangkat peraturan yang jelas dan tegas.

Ilegalitas melintasnya warga Timor Leste ke Indonesia, meskipun berdasarkan status hukum kenegaraan sudah jelas, namun dari sisi kemanusiaan tentunya dalam masa-masa peralihan masih dapat terjadi berbagai kekurangan penegakan sistem hukum yang ada. Berdasarkan Ketetapan MPR RI No V/MPR/1999, secara jelas telah diakui keberadaan Timor Leste sebagai sebuah negara merdeka oleh RI. Kondisi ini dari segi hukum memberikan ketegasan bahwa batas-batas hubungan antar warga dan lintas teritorial negara juga sudah harus segera dibenahi. Pembenahan itu sendiri memang menjalani waktu yang panjang.

Masalah legalitas dan ilegalitas keberadaan warga Timor di Indonesia ataupun warga Indonesia di Timor jika dikaji berdasarkan hukum formal juga masih memiliki sangat banyak kelemahan. Hukum-hukum formal yang berlaku masih merupakan produk sebelum jajak pendapat di Timor-Timor. Salah satunya yang terkait dengan kasus ini adalah Undang-undang Imigrasi dan berbagai peraturan yang berhubungan dengan keimigrasian. Undang-undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang berlaku saat ini dibuat dalam suatu kondisi di mana Timor masih merupakan wilayah RI. Tentunya akan sangat sulit untuk menggunakan kerangka pengendalian terhadap masalah migrasi penduduk Timor dan RI melalui peraturan ini.

Sementara itu undang-undang keimigrasian baru yang sudah mulai memperhatikan perkembangan terbaru belum disahkan. Berbagai peraturan negara yang terkait dengan keimigrasian juga masih sangat jauh dari aspek perhatian terhadap masalah batas wilayah Timor Leste—RI, karena berbagai kelemahan masih saja ditemukan di dalam penentuan batas wilayah negara-negara lain yang telah lama berhubungan dengan Indonesia, misalnya dengan Malaysia, Singapura, dan Australia.

Jangankan selama masa awal saat Timor Leste baru lepas dari RI, sampai pada 30 Agustus 2005 (http://www.kapanlagi.com/) Sekretaris Komisi Perantara perbatasan (Boorder Leaison Committe =BLC), Ir MT Wayan Darmawan menyatakan, “Masih ada segmen batas RI dengan Timor Leste yang bermasalah, yaitu di Dilumil, Noelbesi dan Bijael Sunan-Oben.”

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara memiliki fungsi strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah, baik untuk kepentingan intern maupun ekstern. Kepentingan intern berhubungan langsung dengan kepentingan nasional sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Bagi Indonesia, kepentingan ini sangat erat hubungannya dengan perwujudan wawasan nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Kepentingan ekstern terkait dengan hubungan antarnegara pada skala regional dan internasional. Tidak dapat dihindari sebagai sebuah negara yang diakui kedaulatannya tentu berhubungan dengan negara-negara lain di tingkat internasional. Perbatasan yang jelas pada sebuah negara memberi kesempatan bagi negara tersebut untuk mempertahankan kedaulatan dan eksistensi berkembang di tataran Internasional.

Posisi geografis RI sangat berkaitan dengan perbatasan wilayah antarnegara sangat rawan. Menurut Kolonel Ctp Juni Suburi (http://www.mabesad.mil.id/artikel), posisi geografis RI yang diapit oleh dua benua mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan di darat terdiri dari 3 negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesis mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas landas kontinen, dan batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filiphina, Palau, PNG, Timur Leste, dan Australia. Kekuatan hukum batas laut ini juga telah diatur melalui ratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 melalui Peraturan Pemerintah RI Tahun 1985 dan Undang-undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perkembangan hubungan internasional yang begitu cepat dalam masa globalisasi pada akhirnya membuat keberadaan semua perangkat hukum tersebut menjadi kehilangan kekuatan dan keterkinian dalam mengatur hubungan internasional. Sengketa Sigitan, Lipadan, dan Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia; Masalah Celah Timor antara Indonesia – Australia – Timor Leste; dan Penetapan batas-batas baru antara Indonesia-Malaysia dan Indonesia – Timor Leste merupakan beberapa perkembangan aktual yang membuat segala perangkat hukum dalam pengaturan perbatasan menjadi semakin nampak usang dan perlu segera diperbaharui.

Banyak faktor yang menyebabkan penanganan perbatasan negara tidak mudah diselesaikan. Masalah ini bahkan memerlukan suatu penanganan yang sangat seirus dan lintas sektoral atau interdepartemental. Setiap negara memang memiliki kewenangan untuk menetapkan sendiri batas-batas wilayahnya. Namun mengingat batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah atau perairan kedaulatan (yurisdiksi) dan otoritas negara lain, maka penetapan tersebut harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain sehingga perlu ada suatu kerjasama.

Kerjasama regional di bidang survei dan penegasan batas wilayah darat antara RI dengan negara tetangga selama ini biasanya tertuang dalam bentuk MoU dan perjanjian penetapan garis batas laut dan batas darat. Kerjasama tersebut memang dapat dilaksanakan, tetapi tidak jarang di dalam jalannya juga mengalami benturan-benturan. Kondisi lain yang turut mempersulit posisi Indonesia adalah, meskipun MoU dan persetujuan tersebut telah disepakati dan dibuat, kekuatan hukum melalui penatapannya dengan undang-undang kadang-kadang tidak dilakukan. Kondisi kekosongan hukum tersebut menyebabkan posisi Indonesia menjadi lemah ketika mendapatkan rongrongan dari bangsa lain. Kenyataan ini terbukti dari harus direlakannya Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.

Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berpotensi, memang sangat rentan terhadap berbagai masalah perbatasan. Kekurangan sumber daya manusia yang potensial untuk menangani masalah tersebut membuat wilayah Indonesia yang berada di perbatasan dengan negara lain akan sangat mudah dicaplok oleh negara didekatnya. Realitas dari hal tersebut adalah bergesernya batas-batas antarnegara yang telah dibuat dan disepakati di sepanjang batas darat beberapa kawasan, misalnya antara Indonesia – Malaysia di Kalimantan Barat dan Papua dengan PNG. Segmen-segmen (gap) di sepanjang perbatasan antarnegara yang lama masih banyak yang belum diselesaikan. Sekarang ini dengan keberadaan Timor Leste tentunya segmen tersebut semakin bertambah dan menjadi PR tambahan bagi penanganan masalah perbatasan untuk pemerintah.

Persoalan wilayah perbatasan bukan hanya sekedar menegaskan garis wilayah atau batas negara saja. Penetapan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan prosedur dan mekanisme hukum yang jelas. Itikad baik dalam melaksanakan MoU, persepakatan, dan juga hukum yang dibuat juga perlu mendasari hubungan baik antarnegara. Tidak kalah penting, pengelolaan wilayah batas negara dan segala kebijaksanaan yang menyertainya juga harus melibatsertakan warga negara, khususnya yang berada di daerah perbatasan secara aktif.
Kasus-kasus yang selama ini banyak terjadi di perbatasan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi:

  1. Pelanggaran prosedur keimigrasian, yaitu pelintas batas secara ilegal. Masalah ini juga yang berekses pada banyaknya jumlah TKI bermasalah di Malaysia dan menyelundupnya pelaku kejahatan/teroris.
  2. Penyelundupan barang/orang secara illegal. Kasus ini sekarang ini berkembang dalam bentuk trafficking (wanita dan anak-anak) dan perdagangan barang-barang “haram” (narkotika dan obat terlarang).
  3. Pencurian sumber daya alam pada wilayah-wilayah yang sulit atau jauh dari jangkauan pengawasan, misalnya pembalakan hutan secara ilegal, pencurian ikan dan sumber daya laut lain
  4. Pemidahan tanda-tanda (patok) batas wilayah yang sangat sederhana oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
  5. Meningkatnya kriminalitas, pencurian hasil bumi, ternak, kendaraan bermotor yang kemudian diselundupkan lewat jalan tikus baik ke luar maupun ke wilayah RI.


Kasus-kasus tersebut tidak terlepas dari sistem pengamanan perbatasan kita yang belum memadai. Bahkan ada kecurigaan masyarakat bahwa pihak keamanan sepertinya berkolusi dengan para pelaku karena juga memperoleh keuntungan dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sebagai bagian dari masyarakat internasional tentunya batas-batas yang jelas secara yuridis perlu mendapatkan pengakuan baik secara regional maupun internasional. Tidak kalah pentingnya, pengakuan tersebut juga perlu dimengerti dan dipahami masyarakat maupun aparat penegak hukum, khususnya yang berada atau yang berinteraksi dengan masyarakat di wilayah perbatasan.

Persoalan secara fisik bagi pengguna peta wilayah perbatasan apabila menggunakan peta dasar Topografi yang overlap dengan border line (garis batas) di mana berbeda sistem proyeksi dan datum referensinya, walaupun bisa dilakukan penyesuaian perhitungan transformasinya, namun perlu pengujian posisi di lapangan. Permasalahan di laut, khususnya berkaitan dengan masalah kapal-kapal nelayan asing dan pencurian ikan ditinjau dari sisi hukum laut internasional banyak terletak dari perbedaan persepsi dalam penarikan garis batas laut antarnegara, misalnya antara RI-Malaysia, RI-Thailand, RI-Australia. Sedangkan permasalahan di darat, terutama banyak berkaitan dengan ketidakjelasan segmen-segmen (gap) yang ada. Perselisihan segmen tersebut dapat berupa belum adanya kesepakatan atau akibat ambigius penafsiran dan ketidksadaran warga di sekitar perbatasan.

Pengelolaan perbatasan tidak dapat dilakukan secara sektoral, melainkan perlu dilakukan secara profesional dan lintas sektoral. Melalui Keppres No 161 tahun 1999, di Indonesia penanganan masalah secara koordinatif khusus berkaitan dengan masalah batas laut ditangani oleh Dewan Maritim Indonesia (DMI). Penangan kasus oleh DMI dilakukan dengan pendekatan kasuistik, ad hoc, dan berkoordinasi dengan Departemen teknis yang berkepentingan. Pada kenyataannya, dalam kasus-kasus tertentu upaya yang menjadi kendala DMI adalah seringkali sulit mempertemukan skala prioritas dalam penanganan masalah diantara departemen yang saling terkait. Meskipun demikian, dalam pengelolaan perbatasan memang tidak perlu harus membentuk badan-badan baru, lembaga dan instansi yang saling terkait harus bisa berkoordinasi dengan profesional dalam mengorganisir, menganggarkan, mendiplomasikan, dan mendokumentasikan tindakan yang dilakukan. Dalam hal ini TNI dapat menjadi koordinator dari sistem kerjasama tersebut, mengingat penanganan masalah perbatasan sangat erat kaitannya dengan masalah pertahanan dan keamanan serta kedaulatan negara.

Selain aspek kelembagaan, pengelolaan perbatasan juga perlu memperhatikan aspek-aspek yang sifatnya teknis. Aspek teknis di sini dimaksudkan sebagai faktor yang harus diperhitungkan dalam menopang penyelenggaraan pengelolaan batas wilayah negara, khususnya dalam produk survei dan pemetaan wilayah perbatasan. Kasus-kasus pelanggaran batas wilayah negara yang pernah terjadi pada akhirnya akan menggunakan sarana pembuktian atas posisi di mana terjadi pelanggaran atau sengketa di wilayah tersebut. Pada aspek teknis penggunaan teknologi memang sangat membantu dalam menentukan segmentasi dan batas-batas. Saat sekarang ini teknologi seperti General Positioning System (GPS) telah banyak digunakan untuk memberikan nilai koordinat geografis. Dalam kaitannya dengan Timor Leste, baru-baru ini penggunaan sarana Citra Satelit Ikonos dan Peta Topografi skala 1: 25.000 untuk penyesuaian spesifikasi teknis bersama. Rencana kerja kedua negara secara menyeluruh baik dilineasi maupun demarkasi direncanakan akan selesai pada tahun 2005. Sampai dengan bulan Agustus tahun 2005 berdasarkan laporan hasil Kerja Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menlu Timor Leste, Jose Ramos Horta (http://www.kapanlagi.com/), telah 96% batas wilayah kedua negara yang berhasil di tuntaskan. Masalah-masalah pada beberapa segmen yang masih tersisa diharapkan dapat selesai pada akhir tahun.

Satu-satunya masalah yang sangat mendesak berkaitan dengan aspek teknis adalah pengamanan di perbatasan. Kondisi ini juga yang menjadi keluhan sebagian besar warga, terutama berkaitan dengan meningkatnya kriminalitas di wilayah perbatasan. Namun kondisi ini sebenarnya tidak secara penuh harus disalahkan kepada warga Timor. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa ada warga dari Indonesia sendiri yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Secara teknis kedua negara memang telah bersepakat untuk segera melakukan pertemuan guna membahas masalah penangan keamanan di perbatasan, mengingat pengaturan sebelumnya juga sudah habis masa berlakunya.

Aspek yuridis dalam penanganan masalah perbatasan juga tidak kalah pentingnya. Aspek yuridis sangat krusial karena sebagai negara yang berdaulat dan legitimated di dunia internasional, batas wilayah negara harus memenuhi kriteria berupa kepastian hukum, yakni ada produk hukum yang mengatur dan menetapkannya. Menurut Adi Sumardiman dari Forum Komunikasi dan Koordinasi Teknis Batas Wilayah, “Sebenarnya bentuk produk hukum suatu perbatasan terletak pada kedudukan, hak dan kewajiban yang ada pada kawasan yang dibatasi tersebut. Apabila wilayah yang dibatasi itu memuat hak dan kewajiban negara atau masyarakat yang bersifat mendasar, seperti wilayah negara, wilayah dengan hak milik, maka batas yang dibuat itu harus diatur dalam bentuk undang-undang atau setidaknya Peraturan Pemerintah.

Sebagian besar Keppres dan persetujuan batas landas kontinen dengan negara tetangga di negara kita tidak diatur dengan undang-undang. Masalah lain lagi adalah mengenai ketidakkonsistenan antara kedua negara dalam menentukan desimal batas. Apabila disimak secara jelas, banyak perjanjian-perjanjian yang dibuat berbeda dalam nilai desimal koordinat geografis (ada koordinat yang lengkap hingga sekon dan ada tanpa sekon, melainkan hanya sampai menit). Tentunya ketidaksamaan desimal nilai koordinat geografis sebagai dasar penarikan garis-garis batas wilayah yang telah disepakati dengan negara tetangga masih perlu disatukan dalam sistem referensi geografis yang tunggal, mengingat teknologi dalam penentuan posisi sekarang jauh lebih teliti dibandingkan pengukuran di masa lalu.

Dalam hal hak-hak kedaulatan dan kewilayahan, sebenarnya RI sudah mempunyai undang-undang batas perairan kepulauan. Perairan kepulauan tersebut dikelilingi oleh garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik pangkal dari pulau-pulau terluar di seluruh wilayah nusantara yang diimplementasikan dalam bentuk UU No 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Selain itu dalam PP No. 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinasi geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga diatur beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum penentuan batas.

Memang jika ditinjau dalam hubungan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste masih akan sangat panjang waktu yang dibutuhkan untuk pembenahan-pembenahan. Tetapi bagaimanapun juga pembenahan tersebut perlu segera dilakukan, karena permasalahan yang terjadi ketika masalah batas wilayah tidak memiliki ketegasan dan kejelasan adalah timbulnya berbagai pelanggaran yang dapat saling merugikan. Kerugian tersebut dapat berekses lebih lanjut pada hubungan antarnegara. Masalah-masalah yang paling krusial dan memerlukan penanganan segera lebih banyak memang berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki di wilayah-wilayah perbatasan. Pengaturan secara jelas hak-hak warga dari kedua negara perlu dilakukan, mengingat di wilayah perbatasan, sumber-sumber daya tersebut dapat saja menjadi sumber perselisihan.

Kepemilikan lahan, penguasaan barang tambang, batas laut, pengelolaan hasil laut, dan keamanan dalam berusaha merupakan beberapa aspek bisnis yang perlu diakomodir di dalam penanganan masalah perbatasan berkaitan dengan jaminan kepastian hukum. Selain itu yang tidak kalah penting adalah penanganan masalah “celah Timor” yang seolah-olah tenggelam dari perhatian sejak jajak pendapat di Timor.
Kekosongan dan kadaluwarsanya berbagai produk hukum di Indonesia berkaitan dengan batas wilayah yang langsung terkait dengan keberadaan negara Timor Leste memang perlu dibenahi. Beberapa perundang-undangan yang sekarang ini masih berlaku tetapi sudah tidak tepat harus segera diperbaharui. Perundang-undangan tersebut diantaranya adalah undang-undang mengenai imigrasi, undang-undang mengenai ZEE Indonesia, Undang-undang tentang Tindak Pidana Imigrasi, dan undang-undang tentang perairan nasional. Selain itu kekosongan hukum berkaitan dengan hubungan antarkedua negara juga mesti segera diadakan, diantaranya mengenai hubungan diplomatik, kerjasama perdagangan, penanganan keamanan, penanganan masalah keimigrasian, dan penanganan masalah perekonomian. Hendaknya juga segala hasil kesepakatan dan perundingantersebut tidak hanya berhenti pada tingkat MoU atau permen saja. Sudah sangat krusial bagi Indonesia apabila masalah kerjasama dan segala hal yang berhubungan dengan penangan masalah perbatasan ditetapkan dalam undang-undang.

Penetapan segala peraturan dan kesepakatan di dalam undang-undang akan memberikan kepastian dan jaminan kekuatan di dalam penegakan batas-batas wilayah di tingkat Internasional ketika terjadi perselisihan atau persengketaan antarnegara. Memang hal tersebut tidak kita harapkan, tetapi langkah-langkah antisipatif perlu dilakukan, karena tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya masalah tersebut dalam perkembangan di masa sekarang di mana kepentingan ekonomi dan politik antarnegara dapat sangat mudah mengalami benturan.

Sejarah lahirnya sosiatri

Keberadaan Sosiatri sebagai ilmu pengetahuan jika diasosiasikan dengan umur manusia dapat dikategorikan sudah dewasa. Kenyataannya, ilmu ini belum banyak dikenal. Istilah Sosiatri bahkan tidak ditemukan di dalam kamus-kamus tertentu yang menjelaskan Bahasa Indonesia, meskipun kamus tersebut mencantumkan label “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”. Tidak mengherankan, sebab di kalangan ilmiah, kebermaknaan ilmu ini sebagai cabang ilmu sosial masih banyak ditentang dan bahkan ditolak.

Sosiatri sebagai salah satu cabang ilmu sosial, mulai dikembangkan oleh Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM). Sosiatri ditetapkan sebagai salah satu cabang ilmu sosial oleh UGM pada tahun 1957. Pada 10 Juli 1957, secara resmi UGM membuka jurusan Ilmu Sosiatri yang berada dalam naungan Fakultas Sosial dan Politik. Jurusan ini dibuka dengan tujuan menghasilkan ahli-ahli Sosiatri atau Sosiatris. 


Jurusan Sosiatri di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM dibuka dengan dikeluarkannya Keputusan Sidang Panitia Adhoc Senat UGM. Sebelum sampai pada keputusan tersebut, Senat UGM telah melalui perundingan panjang untuk memformulasikan sebuah nama bagi ilmu baru yang diperlukan untuk pembangunan masyarakat Indonesia. Sidang Panitia Adhoc Senat UGM tersebut terdiri dari 5 orang guru besar UGM. Kelima guru besar tersebut adalah: Prof. Mr. Drs. Notonegoro sebagai ketua dan Prof. Drs. Sigit, Prof. Mr. Kusuniadi, Prof. Drs. Sunardjo, dan Prof. Mr. Hardjono sebagai anggota.





Landasan munculnya sosiatri

Pembangunan diterapkan, masyarakat perlu terlebih dahulu dibantu untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang selama ini telah membebani mental dan psikologisnya.

Ilmu-ilmu sosial yang ada memang sangat banyak. Ilmu-ilmu sosial tersebut dapat diterapkan untuk membantu masyarakat di dalam mengatasi masalah sosial tersebut, tetapi ilmu-ilmu tersebut tidak dapat bekerja secara terpisah-pisah – melainkan harus diwadahi dalam satu sistem untuk dapat bekerja secara sinergis dan dinamis sesuai dengan keperluan dan masalah yang dihadapi masyarakat. Wadah inilah yang belum tersedia. Wadah ini akan lebih efektif jika diwujudkan dalam bentuk ilmu khusus.

Gagasan empirik ilmiah tersebut kemudian didiskusikan di kalangan ilmuwan yang berkonsentrasi pada usaha mengatasi masalah sosial masyarakat Indonesia dan UGM dianggap sebagai lembaga yang mapan dan mantap untuk mendidik ilmuwan-ilmuwan khusus di bidang tersebut. Supaya ilmuwan di bidang ini dapat bekerja secara maksimal, mereka perlu dibekali pengetahuan yang mapan. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM dapat melaksanakan tugas tersebut, maka lembaga ini ditugaskan untuk merumuskan dan membentuk wadah bagi bekerjanya ilmu-ilmu sosial secara interdisipliner.

Wadah yang dibentuk perlu memiliki ciri khas, sebab objek yang ditangani sangat khusus dan tidak menjadi lingkup dari satu pun cabang ilmu sosial yang telah ada. Langkah yang dianggap paling tepat adalah mengembangkan Jurusan baru pada Fisipol UGM. Jurusan baru tersebut selanjutnya bertugas mendidik tenaga-tenaga profesional yang akan menangani masalah-masalah sosial yang telah diidentifikasi. Tenaga-tenaga profesional inilah yang kemudian di saat ini dikenal sebagai Sosiatris.

Ilmuwan-ilmuwan sosial di negeri ini memang sangat langkah pada saat awal kemerdekaan. Pada umumnya, sebagian besar pemuda bangsa ini yang sempat belajar di luar negeri mengambil jurusan teknik dan kedokteran. Pengalaman-pengalaman berorganisasi dan perjuangan kemerdekaan membuat para pemuda terdidik tersebut banyak membaca dan mendalami ilmu sosial secara otodidak. Hasil belajar otodidak tersebut kemudian menjadi bekal mereka untuk mendidik dan mengajar kepada generasi baru di kampus-kampus, termasuk di UGM.

Perjuangan untuk menghasilkan ilmuwan-ilmuwan sosial dan tenaga profesional yang dapat menjalankan tugas-tugas pembangunan masyarakat memang bukan tugas yang mudah. Namun usaha ini dimungkinkan dengan adanya kesempatan untuk memiliki universitas secara mandiri dan kerelaan para cendekiawan untuk membagikan pengetahuan otodidak mereka dan juga pengalaman dalam menjalankan tugas-tugas pengabdian kepada negara. Keberadaan Fisipol UGM dan Jurusan Sosiatri merupakan langkah lanjutan dalam mengatasi kelangkaan sumber daya manusia yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan sosial.


Masalah-masalah sosial tersebut akan menghambat usaha pembangunan jika tidak segera diatasi. Masyarakat yang sakit tidak akan memiliki daya dan kemampuan yang optimal untuk mengembangkan kreativitas dan usaha untuk mendukung program-program pembangunan. Oleh sebab itu, sebelum proses dan tercapainya Indonesia sebagai sebuah negara merdeka setelah Proklamasi Kemerdekaan bukan merupakan langkah akhir, melainkan justru langkah awal perjuangan menegakkan dan mempertahankan kedaulatan. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dalam maupun luar negeri.

Ancaman terhadap kemerdekaan dapat bersumber dari penolakan pengakuan terhadap adanya Republik Indonesia (RI). Oleh sebab itu, untuk memperkuat proses pengakuan kedaulatan dan tegaknya RI, kalangan kampus turut merasa bertanggungjawab. Sebagai Universitas Negeri pertama di tanah air, UGM memiliki tanggungjawab untuk menegakkan dan mempertahankan kedaulatan melalui perjuangan secara akademis.

Perjuangan secara akademis yang dapat dilakukan oleh UGM adalah mengatasi dan mengurangi berbagai dampak negatif penjajahan yang diderita oleh rakyat Indonesia. Banyak masalah sosial patologis yang disisahkan oleh penjajahan yang belum dapat diatasi dengan baik oleh pemerintah pada masa awal kemerdekaan. Masalah sosial tersebut tampak dengan jelas dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, pengangguran, rendahnya kualitas kesehatan, dan berbagai bentuk kepincangan-kepincangan sosial.

Formulasi nama sosiatri

Panitia adhoc Senat UGM menciptakan istilah Sosiatri bagi ilmu yang dikhususkan untuk pembangunan masyarakat Indonesia dengan alur berpikir analogi (membuat kesimpulan dengan analisis perbandingan suatu substansi atau kondisi terhadap substandi atau kondisi yang akan disimpulkan). Analogi yang digunakan untuk merumuskan nama Sosiatri adalah: (1) Kata Psikologi à Psikiatri dan Sosiologi à Sosiatri. (2) Kenyataan bahwa Psikiatri bukan merupakan cabang Psikologi, tetapi menggunakan Psikologi sebagai salah satu ilmu yang membantu kerjanya. Oleh karena itu akan sangat tepat juga penggunaan Sosiatri sebagai suatu ilmu yang menggunakan Sosiologi sebagai salah satu cabang ilmu pendukung kerjanya, tetapi bukan merupakan cabang dari ilmu tersebut. (3) Psikiatri merupakan ilmu terapan (applied sciences) di bidang kedokteran dan kondisinya sama juga untuk Sosiatri yang merupakan ilmu terapan di bidang sosial.

Hasil analogi tersebut kemudian disimpulkan dalam Keputusan Panitia Adhoc Senat UGM dengan menyatakan argumentasi yang menyatakan tepatnya penggunaan Sosiatri untuk jurusan dan ilmu baru di bawah naungan Fisipol UGM sebagai berikut: (1) Ruang lingkup tugas Sosiatri merupakan bidang tepat karena memenuhi logika berpikir kritis ilmiah yang dikenal dengan istilah analogi.terja terapan (applied) bukan teoritis. (2) Sosiatri bukan merupakan terapan Sosiologi, melainkan terapan dari Ilmu Sosial. (3) Penetapan nama sudah

Sosiatri sebagai ilmu pengetahuan

Sosiatri memenuhi syarat-syarat Ilmu Pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, Sosiatri berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lainnya dan berobjek masyarakat. Hakikat Sosiatri memenuhi kriteria-kriteria umum ilmu pengetahuan. Uraiannya adalah sebagai berikut: (1) Sosiatri merupakan ilmu sosial. (2) Tujuan keilmuan Sosiatri bersifat terapan/praktis. (3) Hakikat penelitian dan pemecahan masalah yang dilakukan Sosiatri bersifat empirik (berlandaskan kenyataan dan rasio). (4) Sosiatri tidak memiliki teori sendiri, tetapi memanfaatkan semua teori-teori dalam ilmu sosial yang ada untuk membantu memecahkan persoalannya. (5) Konstruksi keilmuan yang dibangun Sosiatri bersifat operasional. (6) Metode kerja Sosiatri adalah metode ilmu sosial.

Sosiatri berada di dalam naungan Fisipol. Pada hakikatnya rumpun ilmu pada Fisipol dapat digolongkan menjadi dua kelas besar, yakni: (1) Ilmu sosial politik yang mengenai masyarakat, baik berupa yang langsung mengenai keadaan masyarakat atau yang menyangkut publikasinya. (2) Ilmu sosial politik yang berhubungan dengan kehidupan kenegaraan, yang mencakup hubungan dalam negara dan hubungan luar negara.

Jurusan dalam sebuah Fakultas merupakan identitas yang menjelaskan spesifikasi keahlian seorang ilmuwan. Jurusan menjadi wadah pengembangan ilmu secara lebih fokus pada bidang dan objek kerja ilmuwan. Fisipol dianggap tepat untuk membuka Jurusan Sosiatri, karena Fakultas ini menjadi wadah bagi penanganan masalah-masalah kemasyarakatan yang terkait erat dengan pembangunan sosial dan politik.

Jurusan Sosiatri menjadi subwadah yang diberi tugas dan diarahkan ke pengembangan ilmuwan yang memiliki keahlian dalam pembangunan dan penanganan masalah sosial patologis masyarakat Indonesia. Pada tingkat fakultas, calon-calon Sosiatris mendapat bekal keilmuan yang sama seperti mahasiswa Fisipol lainnya, tetapi secara khusus di Jurusan mereka mendapatkan matakuliah keahlian khusus yang menitikberatkan pada usaha pembangunan masyarakat Indonesia.

Ruang Lingkup Sosiatri

Sosiatri adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari kelainan-kelainan kehidupan di dalam masyarakat. Kelainan-kelainan tersebut dapat berupa kelainan pada struktur, kelainan pada relasi sosial, dan kelainan dalam proses perkembangan masyarakat. Identifikasi terhadap kelainan dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya masalah yang lebih serius, menangani masalah dengan cepat, dan membantu masyarakat terlepas dari masalah yang dihadapi. Masyarakat yang dibantu keluar dari masalah atau kelainan yang dihadapi diharapkan dapat berkembang secara normal sehingga siap untuk melaksanakan pembangunan.

Objek materil Sosiatri dengan demikian adalah masyarakat. Sementara objek formilnya adalah: (1) Kehidupan masyarakat yang mengalami kelainan-kelainan. (2) Usaha-usaha untuk mengatasi kelainan-kelainan masyarakat. (3) Usaha-usaha pembangunan masyarakat yang telah dapat diatasi kelainannya.

Ruang lingkup Sosiatri dengan demikian sangat luas. Ruang lingkup tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Kelainan-kelainan masyarakat, baik yang bersifat patologi sosial maupun masalah sosial. (2) Struktur, relasi, dan proses sosial di dalam masyarakat. (3) Usaha-usaha rehabilitasi masyarakat, baik di bidang fisik, mental, maupun sosial. (4) Mengusahakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan dan memberdayakan potensi lokal. (5) Mempraktikkan ilmu-ilmu sosial untuk membantu masyarakat mengatasi masalah dan melaksanakan pembangunan.

Matakuliah Khusus Keahlian Sosiatri

Pengantar Ilmu Sosiatri
Matakuliah ini menyajikan materi-materi yang berhubungan dengan: (1) Pengenalan Sosiatri dan Ruang Lingkupnya. (2) Karakteristik masyarakat yang mengalami disorganisasi. (3) Konsep Masalah Sosial dan Patologi Sosial. (4) Konsep Dasar Mengenai Institusi Sosial. (5) Usaha-usaha Rehabilitasi dan Pembangunan Masyarakat. (6) Hubungan Sosiatri dengan Ilmu-ilmu Sosial.

Ilmu Sosiatri
Matakuliah ini merupakan pendalaman Pengantar Ilmu Sosiatri. Dalam matakuliah ini difokuskan pengembangan materi pada kajian mengenai: (1) Usaha-usaha Pembangunan Masyarakat Lokal. (2) Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). (3) Usaha-usaha Menciptakan Keselarasan antara Masyarakat dengan Lingkungannya. (4) Usaha-usaha menyelaraskan antara kebutuhan masyarakat dengan sumber daya yang tersedia. (5) Kasus dan Penanganan Masalah Sosial dan Patologi Sosial. (6) Peranan Sosiatris dalam Pembangunan.

Metodologi Sosiatri
Merupakan mata kuliah pemantapan di bidang metode penelitian sosial. Cakupan materinya adalah: (1) Pengertian ilmu, sifat ilmu, dan pengelompokkan ilmu. (2) Metode-metode dalam penelitian ilmu sosial. (3) Proses berpikir Induksi dan Deduksi. (4) Unsur-unsur dalam Metode Ilmiah. (5) Pendekatan Sistem dan Analisis Sistem. (6) Pendekatan Penanganan Kasus secara Interdisipliner.

Masalah Sosial dalam Pembangunan
Matakuliah ini mengkaji berbagai kasus dan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan perkembangan masalah sosial tersebut di masa kini. Masalah sosial yang dibahas antara lain: kemiskinan, keterbelakangan, masyarakat terpencil, kebodohan, pengangguran, konflik antaretnis, gender, suksesi kepemimpinan dan konflik, penyimpangan di dalam pemerintahan (korupsi, kolusi, dan nepotisme), integrasi dan disintegrasi.

Patologi Sosial
Matakuliah ini memberikan kajian yang mendalam mengenai: (1) Ruang Lingkup dan kedudukan Patologi Sosial. (2) Fase-fase perkembangan Patologi Sosial. (3) Teori-teori Patologi Sosial. (4) Bentuk-bentuk Patologi Sosial. (5) Reaksi Masayarakat terhadap Patologi Sosial. (6) Penanganan Patologi Sosial.

Lembaga Sosial
Masyarakat dapat dikelompokkan menjadi organized dan disorganized. Agar masyarakat yang disorganized dapat diarahkan pada kondisi organized diperlukan lembaga sosial yang mantap dan dapat menjadi arahan masyarakat dalam bertindak dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Matakuliah ini secara khusus mengkaji: (1) Konsep Lembaga Sosial. (2) Perkembangan dan Bentuk-Bentuk Lembaga Sosial dalam Masyarakat. (3) Institusionalisasi. (4) Fungsi-fungsi Lembaga Sosial. (5) Proses Disorganisasi Lembaga Sosial.

Perencanaan dan Perubahan Sosial
Matakuliah ini mencakup materi: (1) Konsep Sosial, Perubahan dan Perencanaan. (2) Pembangunan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial. (3) Teori-teori Klasik dan Kontemporer Mengenai Perubahan Sosial. (4) Perbedaan Perubahan Sosial dengan Perubahan Budaya. (5) Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Perubahan Sosial. (6) Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dalam Masyarakat.

Ilmu-ilmu mapan yang merupakan cabang ilmu sosial juga banyak digunakan oleh Sosiatri untuk melengkapi kajian kasusnya. Ilmu-ilmu mapan tersebut terutama adalah cabang ilmu yang bersifat terapan. Ilmu-ilmu tersebut antara lain: pekerjaan sosial, sosiologi industri, sosiologi masyarakat desa dan kota, sosiologi pembangunan, kesejahteraan keluarga, geografi pembangunan, perbandingan pembangunan masyarakat, masalah ketenagakerjaan, sosiologi gender, hukum sosial, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan sosial, dan yang paling penting adalah kegiatan praktikum.

Peranan Sosiatris

Sosiatris pada awal perkembangannya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli untuk bertugas dalam departemen pemerintah yang menangani masalah pembangunan masyarakat. Departemen tersebut antara lain: Departemen Sosial, Departemen Transmigrasi, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Penerangan, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Kesehatan.

Saat ini, Sosiatris tidak lagi hanya berkarir di pemerintahan. Sosiatris justru banyak terlibat di dalam aktivitas pembangunan masyarakat yang diusahakan oleh NGOs dari luar maupun dalam negeri. Selain itu, bidang penelitian dan berbagai profesi di dalam masyarakat juga turut dijalani oleh para Sosiatri, seperti sebagai pendidik, pekerja sosial, penyuluh masyarakat, jurnalis, dan konsultan dalam pengembangan wilayah perkebunan.

Eksistensi Sosiatris memang semakin luas, tetapi pengakuan diri sebagai Sosiatris masih sangat rendah kuantitasnya. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya kebanggaan para ilmuwan Sosiatris terhadap identitas ilmunya dan selain itu juga pengakuan yang kurang dari kalangan ilmiah, karena pemahaman yang sangat sempit terhadap disiplin ilmu ini.

Kekerasan sosial: Pembunuhan

Hampir setiap hari di berbagai tempat di muka bumi ini terjadi pembunuhan. Proses makan-memakan di dalam rantai makanan menempati posisi utama di dalam pembunuhan tersebut. Selain itu, tentu saja pembunuhan manusia terhadap sejumlah hewan yang akan dijadikan sebagai daging konsumsi akan menempati posisi selanjutnya. Pembantaian juga terjadi atas hewan oleh manusia atas anggapan bahwa hewan tersebut mengganggu. Sebaliknya hewan juga dapat membunuh manusia.

Manusia sendiri juga melakukan pembunuhan terhadap manusia. Pembunuhan terjadi di medan perang. Pembunuhan terjadi dalam pembantaian etnis. Pembunuhan terjadi dalam konflik. Pembunuhan juga terjadi secara berencana. Pembantaian manusia terhadap manusia bukan suatu cerita baru. Sejarah manusia telah menunjukkan pada dasarnya manusia dapat menjadi pemangsa bagi bangsanya sendiri (alisan kanibal). Peradaban dan hati nuranilah yang membuat manusia tidak melakukan hal tersebut.

Tidak jarang dalam berita kita mendengar anggota keluarga saling membunuh karena berebut harta atau berselisih pendapat. Tidak jarang pula orang tua membunuh anak dan kemudian bunuh diri karena himpitan derita hidup. Pelaku hubungan seks di luar nikah juga kadang membuang dan membunuh hasil hubungan gelapnya. Ada pula pembunuhan yang dilakukan untuk menguasai harta benda. Pembunuhan juga dapat dilatarbelakangi cemburu. Berbagai macam alasan dapat membuat orang membunuh sesamanya.

Ganjaran terhadap para pembunuh juga bermacam-macam. Pembalasan dendam dapat menyebabkan dirinya terbunuh. Hukum juga dapat memberikan sanksi hukuman mati kepada pembunuh yang melakukan tindakannya secara sengaja. Namun, ancaman tersebut tidak pernah membuat pelaku pembunuhan berhenti melakukan aksi dan kejahatannya.

Manusia pada dasarnya memiliki potensi yang sama untuk melakukan berbagai kejahatan, termasuk melakukan pembunuhan. Naluri-naluri jahat tersebut dapat berkembang karena berbagai faktor dari dalam diri maupun di luar diri sang pelaku. Tersedianya berbagai contoh tindakan sadisme dalam bentuk tayangan film-film yang dapat dengan mudah diperoleh merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong seseorang mengembangkan pribadi atau sisi negatif dari dalam dirinya.

Sisi-sisi kelam dan jahat manusia dapat dengan mudah tumbuh jika diberi lahan yang subur di sekitar perilaku jahat. Namun, sisi-sisi kebaikan dan kelembutan justru tumbuh begitu lambat, karena kelembutan dan kesabaran seringkali menuntut kerelaan dan kesediaan untuk menahan derita dan siksa dari sekitar yang memang lebih kuat aura negatifnya.

Apa yang dimaksud dengan "nilai" (value)?

Stratifikasi sosial di dalam masyarakat terbentuk karena adanya sesuatu di dalam masyarakat yang dianggap berharga/bernilai. Penguasaan atau kepemilikan terhadap sesuatu yang bernilai dalam jumlah besar akan menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada strata yang teratas di dalam sistem stratifikasi sosial. Sesuatu yang bernilai sangat tergantung kepada komunitas dan cara komunitas/masyarakat memandang acuan status dan peranan sosialnya.

Bagi para penambang sumber daya alam, tentulah yang menjadi acuan nilainya adalah hasil penggalian yang menjadi tujuannya. Bagi pedagang sayur di pasar, jualannya merupakan sesuatu yang bernilai. Bagi guru, buku dan media pembelajaran merupakan orientasi nilai. Bagi montir bengkel, peralatan service merupakan orientasi nilai.

Saya teringat kembali kondisi ketika papi saya meninggal akibat kecelakaan. Setelah peringatan satu tahun meninggalnya berbagai perkakas miliknya saya jual kepada tukang besi dan sebagian lagi saya bagi-bagikan secara cuma-Cuma kepada kerabat dekat dan tetangga. Tentu saja mereka yang memperolehnya mengucapkan banyak terima kasih. Bagi saya, barang-barang tersebut tidak lagi bernilai dan justru membebani, karena saya memang tidak bisa dan tidak suka dengan usaha bengkel yang dijalankan beliau.

Sekarang ini saya sering mengoleksi dan membeli berbagai buku. Buku-buku tersebut tidak jarang saya beli dengan harga mahal. Tentu saja saya sering dianggap goblok juga oleh banyak orang. Ngapain numpuk buku banyak-banyak. Bahkan teman-teman saya sering mengatakan lebih baik tumpukan buku tersebut tidak saya beli dan justru diganti dengan makanan. Mami saya bahkan sempat mencoba menghitung harga-harga buku tersebut. Mami menyajikan angka tersebut dan sebuah brosur penawaran mobil. Saya tersenyum saja menatap angka tersebut dan brosur yang disajikan. Tidak lain, mami mau menyampaikan, “Jika buku ini tidak kamu beli, maka kamu sudah bisa dapat mobil di brosur itu.”

Tapi di sinilah letak indahnya dunia. Tidak semua orang memandang penting dan bernilai pada satu jenis benda. Dunia ini diisi dengan begitu banyak perbedaan dan keragaman nilai. Justru di sinilah letak kesempurnaan sinergi dan berjalannya hukum alam. Bukan hanya manusia yang demikian. Lihat sajalah alam ini, penuh dengan perbedaan dalam memandang nilai.

Bagi lebah dan kupu-kupu tentulah madu dari bunga menempati nilai terpenting. Sementara bagi ikan, air adalah suatu habitat yang bernilai mutlak. Burung-burung di udara juga memilih nilai makanannya. Ada yang menyantap serangga dan ada pula yang menyantap biji-bijian.

Jelas pilihan nilai khas bagi semua makhluk yang menempati alam semesta ini.

Pengantar metodologi penelitian

Metodologi penelitian merupakan keseluruhan proses berpikir mulai dari ditemukannya masalah, menjabarkannya dalam kerangka teori tertentu, menentukan teknik dan alat pengumpulan data sampai dengan penarikan kesimpulan. Sedangkan metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah adalah suatu kegiatan yang dilandasi dengan metode keilmuan. Metode keilmuan merupakan gabungan pendekatan rasional dan empiris.

Cara-cara ilmiah dalam penelitian diharapkan dapat membantu peneliti memperoleh data yang memiliki sifat objektif, valid, dan reliabel. Objektif artinya semua orang akan menafsirkan data dengan cara yang sama. Valid berarti ada kesesusian antara keadaan objek yang diteliti dengan data yang ditemukan. Reliabel artinya data konsisten dan dapat dipercaya.

Tujuan kegiatan penelitian adalah menemukan, membuktikan, mengembangkan dan mengantisipasi suatu masalah. Menemukan artinya berusaha mendapatkan ssesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Membuktikan artinya melakukan pengujian terhadap kebenaran sesuatu yang masih diragukan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada. Mengantisipasi artinya berusaha menghasilkan sesuatu yang dapat mempertahankan, memperbaiki, atau mengubah keadaan bermasalah menjadi normal.

Penggolongan jenis-jenis penelitian dilakukan untuk berbagai kepentingan dan berpedoman pada cara ilmuwan melakukan peninjauan terhadap aktivitas penelitian. Ilmuwan tertentu menggolongan penelitian berdasarkan tujuan. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan pendekatan. Ilmuwan lainnya menggolongkan berdasarkan cara menjelaskan. Sedangkan yang paling banyak digunakan adalah menggolongkan penelitian berdasarkan jenis data.

Penelitian berdasarkan tujuannya dapat dikelompokkan menjadi penelitian murni (pure research) dan penelitian terapan (applied research). Penelitian murni adalah penelitian yang dilakukan sepanjang hasilnya bermanfaat untuk pengembangan teori. Penelitian ini banyak dilakukan oleh ilmuwan alam, misalnya untuk membuktikan atau menguji Hukum Newton atau meneliti kebenaran Teori Darwin. Penelitian terapan dilakukan agar hasilnya dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah praktis. Penelitian ini dapat dilakukan untuk mengetahui efektivitas harga saham atau menelusuri adat perkawinan suku bangsa tertentu.

Jenis penelitian menurut pendekatannya dapat dibedakan menjadi survei, ex post facto, penelitian percobaan, penelitian naturalistik, penelitian kebijakan, penelitian tindakan, dan penelitian evaluasi. Survei dapat digunakan untuk mengumpulkan data sampel dari komunitas berukuran besar. Ex post facto diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa yang telah terjadi. Penelitian percobaan berusaha mencari pengaruh sebuah variabel terhadap suatu kondisi yang terkontrol ketat. Penelitian naturalistik menangani pengumpulan data yang bersifat nonangka (kualitatif). Penelitian kebijakan dilakukan untuk memahami dan menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau suatu asosiasi. Penelitian tindakan bertujuan mengembangan pendekatan dan program sesuatu dengan tindakan yang diamati. Penelitian evaluasi merupakan penelitian yang menilai suatu kegiatan program. Jika penilaian dilakukan pada prosesnya disebut penelitian evaluasi formatif, sedangkan jika penelitiannya dilakukan pada hasil akhirnya disebut penelitian sumatif.

Penelitian berdasarkan tingkat penjelasannya dijelaskan menjadi penelitian deskriptif, penelitian komparatif, dan penelitian asosiatif. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan kondisi masayarakat atau objek sesuai dengan keadaan yang ditemukan atau diamati. Penelitian komparatif melakukan perbandingan antara suatu kondisi atau komunitas dengan kondisi atau komunitas lain. Penelitian asosiatif adalah penelitian yang menelusuri sebab-akibat suatu peristiwa atau gejala yang terjadi.

Jenis penelitian menurut jenis datanya dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif meninjau hakekat kenyataan secara tunggal, nyata, serta terfragmentasi; hubungan antara peneliti dengan yang diteliti terpisah; generalisasi dilakukan bebas waktu sesuai dengan konteks penelitian; sedangkan hubungan sebab-akibatnya didasarkan pada penyebab sebenarnya. Penelitian kualitats memandang hakekat kenyataan sebagai kondisi ganda dan utuh; hubungan antara peneliti dengan yang diteliti tidak dapat dipisahkan; generalisasi terikat waktu dan konteks terikat pada hipotesis; dan hubungan variabel tidak didasarkan pada sebab akibat melainkan bersifat resiprokal (sebab – akibat atau akibat – sebab).

Kemiskinan Mental

Tujuan pembangunan sosial di setiap negara dan tujuan pembangunan universal menetapkan upaya pengentasan kemiskinan. Tentunya kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktural disebabkan oleh sistem di sekitar tempat hidup manusia tidak memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Sistem tersebut dapat berupa daerah pascaperang, daerah pascabencana, atau daerah yang wilayahnya tandus. Kemiskinan struktural juga dapat timbul akibat adanya kendala fisik pada manusia untuk dapat melakukan tugas produktif, seperti tua, sakit mental, dan cacat fisik permanen.

Sementara di masa kini, pada sebagian besar negara berkembang, justru kemiskinan yang muncul adalah kemiskinan mental. Kemiskinan mental tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat kelas bawah saja. Kemiskinan mental bahkan juga dialami oleh sebagian masyarakat kelas menengah dan atas.

Kemiskinan mental teridentifikasi dari banyaknya orang yang mengaku miskin. Kemiskinan mental terwujud dalam bentuk korupsi yang merajalela. Kemiskinan mental terjadi di tataran aktivitas ekonomi, ketika produktivitas rendah karena kompensasi yang diterima dirasa tidak layak. Kemiskinan mental juga terjadi karena pengangguran sukarela.

Pada saat pemerintah menentukan kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), terjadi kericuhan luar biasa. Banyak orang yang merasa layak dan pantas untuk menerima bantuan tersebut. Ekspresi yang diwujudkan ketika merasa kelayakannya tidak terpenuhi adalah marah, kesal, dan berteriak-teriak.

Demikian juga ketika ada pembagian zakat. Berduyun-duyun orang yang merasa pantas mendapatkannya rela antri berjam-jam. Bahkan, rela mati terinjak-injak dalam antrian tersebut.

Uang BLT dan zakat juga tidak jarang disunat. Rupanya pejabat-pejabat yang mengurus tidak kalah merasa miskin. Mereka merasa layak dan pantas mendapatkan bagian dari donasi tersebut. Ketika mengurus berbagai keperluan di kantor pelayanan publik, petugas meminta uang rokok, uang obat nyamuk, dan uang pelicin untuk kelancaran proses. Kalangan ini tampaknya tidak kalah miskinnya dengan pengemis. Rupanya gaji yang diperoleh belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Muncul dari mana sebenarnya mentalitas kemiskinan tersebut? Jawabannya tentu juga sangat beragam. Budaya masyarakat, kebijakan pemerintah, dan pendidikan turut memberikan andil dalam terbentuknya kemiskinan mental.

Kita tentu masih ingat pepatah yang mengatakan, “makan gak makan yang penting ngumpul” atau “sedang berdiang nasipun masak”. Budaya kekeluargaan, penanaman hidup enak dan santai, serta alam yang memiliki banyak potensi turut menumbuhkan mental malas pada sebagian warga masyarakat kita. Tanpa harus bersusah payah, orang lain dalam keluarga masih mampu memberinya makan. Inilah yang membuat adanya orang-orang yang rela menganggur dan lebih memilih untuk mengaku miskin dan menunggu belas kasih dari orang-orang dekatnya.

Kebijakan pemerintah, seperti BLT dan juga berbagai program pengembangan masyarakat kecil juga turut menanggung dosa membuat masyarakat kita miskin secara mental. Tidak ada realisasi meningkatnya produktivitas orang yang menerima BLT. Bantuan kepada masyarakat kecil dalam bentuk pinjaman, jika pada akhirnya gagal berkembang juga tidak akan ada sanksi hukum yang jelas. Bantuan dalam bentuk kredit dan pinjaman pada akhirnya berubah menjadi hibah yang sangat dinantikan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga hanya sibuk menangani korupsi di tingkat panggung sandiwara. KPK tidak pernah memantau berapa jumlah uang rakyat yang terkorupsi di dalam pelayanan publik, seperti pengurusan KTP, paspor, SIM, dll. Berapa jumlah pungutan liar yang nilainya bahkan melebihi yang dapat diterima kas negara yang masuk ke kantong pribadi para pejabat publik di jajaran menengah dan bawah.

Pendidikan nilai, seperti “take and give” turut menghasilkan pribadi-pribadi yang berpotensi melakukan korupsi. Orang yang melakukan korupsi jelas penderita penyakit kemiskinan mental. Di tataran sekolah, siswa bersedia aktif bertanya, menanggapi, atau mengerjakan tugas jika ada nilai atau skor. Jika tidak ada nilai atau skor, mereka tidak akan belajar secara mandiri. Padahal justru dengan belajar giat, reward yang diterima adalah peningkatan kompetensi pribadi.

Kemiskinan mental telah mengurat-akar dalam masyarakat kita. Upaya mengatasinya tidak dapat dijalankan dengan program pengentasan kemiskinan saja. Mengatasi kemiskinan mental harus dimulai dari kesadaran pribadi, pendidikan melalui keluarga, dan peran aktif masyarakat dalam mendidik generasi-generasi baru yang antikemiskinan mental.