Print friendly

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

12 Feb 2011

Perkembangan ruang lingkup Sosiatri

Objek kajian Sosiatri sama dengan objek kajian ilmu sosial, yakni manusia. Manusia adalah makhluk yang paling dinamis dan terus mengalami perkembangan. Secara khusus kelompok manusia yang mendapat perhatian Sosiatri adalah manusia Indonesia. Jika dihitung dari semenjak kemerdekaan sampai dengan saat ini, kelompok manusia dengan Negara Kesatuan Indonesia telah mencapai umur hampir 66 tahun. Selama 66 tahun, tentu saja sudah banyak dinamika yang terjadi, baik dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal. Sudah sewajarnya juga Sosiatri perlu dianalisis kembali ruang lingkup kajiannya. Terlebih lagi dengan hadirnya berbagai teknologi mutakhir yang mempengaruhi pola hubungan antar-manusia.

Sosiologi dan Antropologi, yang merupakan dua ilmu yang banyak menjadi rujukan Sosiatri telah mengalami perubahan yang sangat luar biasa di dalam ruang lingkup kajiannya. Jika Anda mengunjungi situs American Sociology Association, Anda akan dapat menemukan sederetan kajian-kajian baru yang menjadi ruang lingkup Sosiologi, seperti Body and Embodiment dan Science, Knowledge, and Technology. Demikian pula jika Anda mengunjungi situs American Anthropological Association , Anda akan menemukan kajian-kajian baru seperti Global Anthropology dan Visual Anthropology. Melihat pada perkembangan tersebut, sebenarnya, objek dan ruang lingkup kajian Sosiatri juga telah mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Hanya saja belum mendapatkan perhatian dan juga publikasi.

Sebelum saya datang ke Hawaii untuk melanjutkan studi, saya sempat berbincang dengan beberapa teman yang sedang dalam proses penyelesaian skripsi maupun thesis. Dari topik-topik yang mereka angkat untuk skripsi maupun thesisnya, saya melihat ada beberapa ruang lingkup yang sebenarnya telah menjadi trademark atau paten untuk ilmu Sosiatri. Kajian-kajian tersebut antara lain:

  1. Pengembangan potensi lokal masyarakat pedesaan dengan pendekatan sistem sosial-budaya-ekonomi. 
  2. Perubahan sosial masyarakat pertanian (pertanian dalam arti luas, mencakup perladangan, perkebunan, dan perikanan)
  3. Kajian pembangunan masyarakat di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain.
  4. Partisipasi masyarakat di dalam penerapan prinsip-prinsip kesehatan.
  5. Usaha-usaha pengembangan sosial-ekonomi masyarakat marjinal.
  6. Partisipasi institusi sosial dan masyarakat dalam peningkatan kualitas pendidikan masyarakat.
Beberapa kajian yang mengalami perkembangan cukup pesat saat ini di dalam kajian Sosiatri dan memiliki prospek ke masa depan sebagai kajian baru, antara lain:
  1. Peran perempuan di dalam menunjang sistem ekonomi keluarga.
  2. Sistem ketahanan ekonomi masyarakat melalui partisipasi dalam koperasi kredit.
  3. Kreativitas dan participasi pemuda dalam pembangunan.
  4. Pemanfaatan media dan teknologi mutakhir untuk memfasilitasi perubahan masyarakat.
Selain keempat topik kajian tersebut, tentu saja masih banyak lagi kajian-kajian lain yang terus dikembangan di kajian-kajian sosiatri pada universitas-universitas di Indonesia. Saya berharap, rekan-rekan yang membaca blog ini juga bersedia membantu menambah wawasan kita di update Sosiatri ini dengan memposting abstrak dari skripsi, thesis, ataupun disertasi. Saya akan sangat senang sekali berdiskusi mengenai topik-topik teman-teman. 

11 Feb 2011

Saya 100% Sosiatrist

Kurang lebih 17 jam yang lalu sebelum posting ini saya tulis, seorang teman menuliskan di wall FB-nya "(nama) is 100% Chinese, 100% Indonesian, and 100% Javanese." Wall Posting ini memberi saya insipirasi. Insipirasi untuk mendeklarasikan diri sebagai 100% Sosiatrist. Saya jadi teringat masa-masa ketika saya berjuang untuk memperoleh ijazah dari Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan) dengan bertuliskan "Ilmu Sosiatri" pada Program Studi dan bukan "Sosiologi".

Bagi sebagian orang, termasuk Dekan saya pada saat itu, keputusan saya salah. Sosiologi jelas lebih populer daripada Sosiatri. Sosiologi dikenal bahkan sampai di luar negeri, dan akan lebih mudah bagi saya untuk melamar pekerjaan, mendaftar kuliah S2 jika memiliki ijazah yang bertulisakan Program Studi: Sosiologi. Padahal, selama saya kuliah, saya tahu dan paham sekali bahwa program pendidikan di jurusan Sosiologi/Program Studi Ilmu Sosiatri waktu itu jelas menggunakan kurikulum ILMU SOSIATRI, bukan kurikulum SOSIOLOGI. Terlepas dari mudah atau tidaknya saya memiliki pekerjaan di masa yang akan datang, pada saat itu saya memiliki idealisme tetap lulus sebagai ILMUAN SOSIATRI atau SOSIATRIST, daripada saya memiliki ijazah yang tidak sesuai dengan ilmu yang telah saya peroleh selama pendidikan.

Saya memiliki kebanggaan dan yakin bahwa saya akan mampu menjalankan tugas saya sebagai Sosiatrist setelah tamat. Meskipun pada saat itu, saya harus gagal untuk bisa menjadi dosen perguruan tinggi negeri, gagal menjadi pegawai negeri sipil, dan juga sempat mengalami kegagalan panjang lainnya. Penyebabnya, bisa saja salah satunya karena saya memegang ijazah SOSIATRI. Namun, dalam pemikiran positif, saya menganggap bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh kurangnya kerja keras dan usaha saya, termasuk mungkin ada rencana lain dari yang Maha Kuasa untuk saya berkarya di tempat lain.

Karya dan kerja saya memang lebih banyak di sekolah, pada akhirnya, dan orang-orang lebih banyak mengenal saya sebagai GURU dan DOSEN daripada sebagai SOSIATRIST. Satu-satunya kesempatan yang bisa saya gunakan untuk menyatakan diri sebagai SOSIATRIST adalah ketika saya menulis untuk koran lokal. Meskipun, tulisan tersebut mungkin tidak banyak yang membacanya. Walaupun demikian, saya tetaplah 100% Sosiatrist, karena ketika saya bekerja dan mengabdikan diri sebagai guru saya tidak pernah bisa lepas dari pola pikir holistik dan menyeluruh, bekerja dan belajar dari komunitas, dan bertujuan membantu komunitas di mana saya bekerja sesuai dengan potensinya. Hal itu saya rasakan dengan sangat jelas ketika saya bekerja sebagai guru.

Satu hal yang saya rasakan tertanam dengan baik dalam semangat kerja saya adalah bahwa SEMUA ILMU memiliki KEUNGGULAN dan DAYA DUKUNG terhadap PEMBANGUNAN masyarakat. Jika saya diharuskan untuk belajar, saya akan mempelajari apapun dan berusaha memikirkan secara kreatif bagaimana mengubahnya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri saya dan orang lain. Tidak pernah ada sentimen keilmuan di dalam diri saya. Tidak ada kecenderungan untuk menolah memahami disiplin atau ilmu lain. Saya juga akan berusaha untuk belajar dan bertanya pada ilmuwan-ilmuwan yang dapat mendukung saya di dalam mengembangkan komunitas di mana saya bekerja. Inilah sebenarnya yang saya rasakan telah terinternalisasi di dalam diri saya dan membuat saya harus mendeklarasikan diri bahwa saya adalah 100% SOSIATRIST.

Dengan bangga saya sampaikan kepada rekan-rekan yang membaca posting ini, Jika Tuhan mengijinkan, saya akan memperkenalkan ILMU SOSIATRI kepada rekan-rekan kita di Amerika, terutama Mahasiswa S2 dan S3 yang akan menghadiri International Graduate Student Conference 10th di Honolulu, Hawaii dari tanggal 17 Februari - 19 Februari 2011. Saya mohon dukungan dari para tamatan Sosiatri di manapun Anda berada dan di manapun anda berkarya.

9 Feb 2011

Untuk apa Sosiatri? Tumpang tindih (Overlap) dengan ilmu lain

Ilmu Sosiatri sering mendapat kritik dan dipertanyakan keberadaannya di dalam khasana ilmu sosial. Salah satu pertanyaan tersebut adalah untuk apa Ilmu Sosiatri diadakan? Bukankah objek kajiannya tumpang tindih dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Jadi, pengadaan Ilmu Sosiatri merupakan sesuatu yang mubazir dan mengada-ada. Bukankah pengadaannya hanya untuk mengekalkan kepentingan segolongan orang untuk dapat disebut Sosiatris. Kritikan-kritikan tersebut sebagian benar, tetapi tidak seluruhnya benar. Sanggahan saya jelas, apa juga yang menjadi tujuan dari pengadaan ilmu atau disiplin yang menjadi konsentrasi penyanggah tersebut? Bukankah tujuannya juga sama saja, mengekalkan profesi keilmuan, ada interseksinya dengan ilmu lain, dan apakah pengadaannya juga tidak mubazir?

Pengadaan Ilmu sosiatri sangat jelas, yakni karena profesi sosiatris memang diperlukan. Sosiatris adalah ilmuan yang melihat masalah dari segi masalah itu sendiri, bukan dari segi solusinya. Dengan masalah itulah solusinya dicari, artinya analisis masalah adalah berdasarkan masalah itu sendiri, bukan dengan melihat pada solusi-solusi yang sudah dilakukan oleh negara lain atau oleh orang lain. Kesalahan-kesalahan seperti inilah yang menggiring negara kita tidak pada sampai pada solusi yang adalah solusi, melainkan solusi yang menghasilkan masalah baru. Sebagai contoh: 1) Pengadaan buku sekolah elektronik untuk meringankan harga buku, justru menimbulkan masalah baru? Coba pikirkan apa saja masalahnya. 2) Undang-undang atau peraturan mengenai pornografi? Bukankah justru ini malah menjadi masalah pengembar-gemboran pornografi?. 3) Pemungutan bea masuk untuk oleh-oleh dari luar neger? Luar biasa bakalan membuat masalah baru.

Profesi-profesi khusus berkembang seiring dengan perkembangan masayarakt itu sendiri. Di negara-negera tertentu, justru pengembangan spesialisasi didukung oleh cendekiawan dan pemerintah. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, di mana saya sekolah sekarang, ada Kajian Asia, Library and Information Science, Second Language Study, Hawaiian Study, Information and Communication, Information and Computer Science, Teknologi Information, dll. Bukankah ilmu-ilmu tersebut juga tumpang tindih? Lalu apa masalahnya dengan Sosiatri? Biarkan saja Sosiatri memiliki kesempatan untuk berkembang tumpang tindih. Bukankah yang lebih penting adalah hasil karya para sosiatris?

Hal ketiga yang saya anggap sangat penting adalah pengembangan kebanggaan sebagai Sosiatrist dan membuktikan peran serta di masayarakat. Sementara ini yang saya rasakan, karena tekanan-tekanan yang sangat besar dan kesangsian terhadap keberadaan sosiatri, Sosiatrist sendiri akhirnya menarik diri dan tidak berani menyatakan dirinya sebagai Sosiatrist. Banyak Sosiatrist yang justru mengaku dirinya sebagai Sosiologis, ahli dan pakar politik, ilmuan pembangunan masyarakat, dll. Mengapa Anda tidak tetap menjadi Sosiatris, toh Anda lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Sosiatri?

Inilah tiga hak kecil yang coba saya kemukakan sebagai refleksi. Terutama untuk para sosiatris dan calon-calon sosiatris. Silahkan komentari pendapat saya. Mudah-mudahan dengan olah pikiraan dan sumbang saran Anda, saya dapat mengembangkan peran yang lebih baik di dalam mengukuhkan keberadaan ilmu ini dan menunjukkan bahwa Anda dan saya melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Inilah kerja para Sosiatrist.

Sejarah Sosiatri

Abstrak: lmu Sosiatri sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang berkembang di Indonesia sudah memasuki tahun ke-50. Usia tersebut memang relatif masih sangat muda dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya. Sebagai ilmu baru, memang banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para sosiatris. Tantangan itu berasal dari kalangan sosiatris sendiri maupun dari ilmuwan sosial lainnya. Sosiatri sering diragukan keberadaannya sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiatri seringkali dianggap hanya sebagai penggabung-gabungan berbagai disiplin untuk menunjukkan bahwa ilmuwan Indonesia juga mampu menciptakan ilmu sendiri. Sosiatri pada hakekatnya lahir dari kepedulian terhadap masalah sosial patologis di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Dalam proses panjang, seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dan perubahan masyarakat, fokus kajian Sosiatri juga mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut tentunya disesuaikan dengan tujuan utamanya, yaitu membantu masyarakat Indonesia yang mengalami masalah sosial terlepas dari masalah, mampu berusaha sendiri , membangun masyarakatnya, dan meneruskan usaha tersebut pada masyarakat lain dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Pendahuluan

Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Soekanto, 1994), perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut. 

Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan (Lauer, 1993). Perubahan berdasarkan arahnya dapat berupa perubahan yang progresif (kemajuan) dan dapat juga berupa perubahan yang regresif (kemunduran). Perubahan yang terjadi juga hendaknya menghindari mitos mengenai keseragaman arah gerak dari setiap struktur sosial yang ada, karena dalam setiap struktur sosial terdapat identitas khusus yang mewarnai perubahan yang terjadi, yaitu perbedaan nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku kelompok masyarakat (Soemardjan, 1974).Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat, senantiasa dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain: perubahan lingkungan fisik, perubahan penduduk, isolasi dan kontak, sikap dan nilai-nilai, struktur sosial, kebutuhan yang dianggap perlu, dan dasar budaya (Horton dan Hunt, 1991).

Selain faktor-faktor tersebut, yang paling penting adalah dinamisator di dalam kehidupan itu sendiri, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi penggerak perubahan (agent of social change). Peran dan kerja dari para penggerak perubahan tersebut juga turut menentukan dan mempengaruhi perubahan yang terjadi. Para penggerak perubahan dapat terdiri dari unsur pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kalangan terdidik (mahasiswa dan ilmuwan).


Perkembangan Sosiatri
Pembahasan perkembangan ilmu sosiatri dalam tulisan ini akan berada dalam frame kerangka konsep perubahan tersebut. Setiap perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akan mencakup juga perubahan sosial. Sosiatri merupakan ilmu sosial terapan (applied science), yang dalam pengembangannya mengandalkan realita yang terjadi di dalam masyarakat, berkaitan dengan masalah sosial yang perlu diselesaikan (pandangan awal perkembangan) dan penyesuaian kebutuhan dengan sumber daya yang ada (pandangan hasil perkembangan). 

Realita dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan memiliki dimensi perubahan sosial. Sementara itu, secara keilmuan, pengembangan kajian, penelitian, dan teori-teori baru juga dituntut dari sosiatri, baik melalui hasil kerja lapangan (penelitian dan proyek sosiatri), maupun melalui berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Aktivitas ilmiah mempermudah perubahan budaya. Inovasi baru di bidang keilmuan memperoleh ruang dan kesempatan formal. 

Kajian perubahan dalam sosiatri dapat dipadukan dengan konsep paradigma dari Khun (Ritzer, 1991). Konsep paradigma dari Khun sealiran dengan teori-teori perubahan. Perubahan ilmu pengetahuan menurut Khun terjadi secara revolusioner. Akumulasi hanyalah salah satu segmen di dalam proses revolusi untuk mencapai kemajuan ilmu. Revolusi ilmu menjalani proses sebagai berikut: Paradigma I --> Ilmu Normal --> Anomali --> Krisis --> Revolusi --> Paradigma II 

Pada tahap ilmu normal, proses akumulasi ilmu terjadi, namun perkembangan ilmu tidak hanya terletak pada tahap ilmu normal, melainkan meliputi keseluruhan proses tersebut (Ritzer, 2003). Paradigma merupakan suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam suatu cabang ilmu. Jadi paradigma merupakan suatru bingkai atau frame yang membuat ilmuwan terfokus pada apa yang menjadi perhatiannya berkaitan dengan suatu kondisi atau objek. Paradigma dalam ilmu pengetahuan mencakup teori, pokok permasalahan metode dan instrumen, termasuk eksemplar model dari suatu objek ilmu. 

Jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan sosiatri yang terinspirasi oleh analogi psikologi – psikiatri dan sosiologi – sosiatri, jelas sosiatri memiliki kedekatan dengan sosiologi. Objek material sosiatri sama dengan sosiologi, yang membedakan keduanya adalah objek formal. Objek formal sosiatri memang memerlukan dukungan dari beberapa paradigma sosiologi, sebab sosiologi memiliki multiparadigma. Namun, objek tersebut juga memerlukan dukungan disiplin ilmu sosial lain agar kerja sosiatri menjadi semakin baik, mengingat dimensi sosial-masyarakat sangat luas. Sosiatri memadukan berbagai paradigma ilmu sosial, sehingga penyelesian masalah di dalam sosiatri merupakan suatu pendekatan multiparadigma terintegrasi. Perubahan paradigma dalam ilmu sosial yang dijadikan sebagai acuan kerja dan pelaksanaan proyek sosiatri jelas akan turut mengakibatkan perubahan dalam paradigma sosiatri sebagai ilmu. 

Perubahan paradigma dalam suatu ilmu pengetahuan memang bukan suatu hal baru. Kondisi ini menunjukkan proses revolusi ilmu dari Khun merupakan sesuatu yang realiabel. Di bidang ilmu alam akan dengan dengan mudah ditemukan perubahan paradigma mendasar yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan manusia. Perubahan teori geosentris menjadi heliosentris merupakan suatu revolusi dalam kosmologi yang dampaknya sangat besar. Salah satu efek sosialnya adalah perkembangan penjelajahan samudera yang menimbulkan kolonialisme dan imperialisme bangsa¬bangsa Eropa terhadap bangsa noneropa. Perubahan pemikiran mengenai abiogenesis menjadi biogenesis merupakan perubahan besar dalam biologi. Efek positifnya adalah memungkinkan perkembangan ilmu budidaya dan kajian mikrobiologi. Efek sosialnya adalah kemampuan menjawab kekhawatiran Malthus mengenai bencana kemiskinan dan kelaparan akibat ledakan jumlah penduduk. 

Di bidang ilmu sosial, dapat terlihat perubahan paradigma sosiologi dan antropologi. Pada awal perkembangannya, sosiologi difokuskan pada struktur sosial dan dinamika sosial masyarakat Eropa pascarevolusi sosial dan Revolusi Industri. Kedua revolusi tersebut memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat dunia. Sosiologi mulai memperluas kajiannya pada struktur dan dinamika sosial masyarakat di berbagai belahan dunia – tidak hanya terbatas pada masyarakat Eropa saja. Antropologi yang pada awalnya memilih objek masyarakat terasing mulai melakukan reinterpretasi kajian, sehingga mencakup kehidupan suku-suku bangsa di manapun, baik di pedesaan maupun di perkotaan. 

Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dari beberapa kasus perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan, arah yang dicapai memang diutamakan berupa perkembangan. Kemapanan dan munculnya spesialisasi ilmu menjadi harapan dari perubahan tersebut. Perubahan tersebut berhubungan timbal balik dengan perubahan kehidupan manusia yang menjadi pendukungnya, termasuk terutama perkembangan di kalangan ilmuwan.


Perubahan Paradigma Ilmu Sosiatri
Sosiatri sebagai ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1957. Banyak perubahan dalam masyarakat yang telah terjadi dari tahun tersebut sampai saat ini. Selama 50 tahun, tentunya telah dihasilkan sejumlah besar sosiatris. Sosiatris dalam menjalankan pekerjaannya tentu akan menghadapi perubahan masyarakat yang memungkinkan mereka menghadirkan ide-ide baru yang lebih inovatif. 

Ide-ide yang dihasilkan sekaligus mengkonstruksi perkembangan bagi sosiatri. Koentjaraningrat (1993) pernah membuat periodisasi perkembangan antropologi berdasarkan pada kajian terhadap pengembangan ilmu tersebut di setiap periode. Dalam histroigrafi juga terdapat cara pengelompokkan karakteristik suatu periode historis dengan sistem tiga periode (three age system). Dengan demikian jika dilakukan analogi pada dua proses keilmuan tersebut, maka perkembangan sosiatri juga dapat dikelompokkan ke dalam fase-fase atau tahap perkembangan. Pengelompokkan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan sistem tiga periode. Alasannya jelas bahwa perkembangan masyarakat dan kajian ilmu sosial sering dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlangsung. Dari perkembangannya, sampai saat ini, sosiatri menjalani tiga periode sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. 

Periodisasi perkembangan sosiatri yang akan dijadikan landasan untuk melihat perubahan paradigmanya dikelompokkan menjadi: Fase Awal Perkembangan (1957 – 1966); Fase Pemantapan Perkembangan (1967 – 1997); dan Fase Perkembangan (1998 – sekarang). Setiap fase perkembangan memiliki karakteristik yang dapat dilihat dari aspek objek ilmu (pokok permasalahan), teori-teori, titik perhatian, metode dan instrumen, pendekatan/eksemplar model ilmu, dan peran sosiatris. 

Pada fase awal perkembangan, sosiatri masih merupakan suatu disiplin ilmu yang baru berkembang, terbatas pada Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang khusus dan secara langsung bersasaran pada keadaan dalam masyarakat. Landasan dirumuskannya spesialisasi sosiatri pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada saat itu adalah kebutuhan bangsa akan adanya tenaga-tenaga ahli yang mampu membantu melakukan penyembuhan (rehabilitasi) kondisi masyarakat yang mengalami banyak masalah sosial akibat penjajahan. Objek formal sosiatri pada fase awal perkembangan ialah masalah-masalah sosial patologis akibat penjajahan (Wirjosumarto, 1978). Masalah tersebut antara lain: kemiskinan, kebodohan, kualitas kesehatan yang buruk, ledakan jumlah penduduk, dan adanya cacat sosial dan cacat fisik. 

Pengembangan sosiatri yang dilakukan secara khusus menyebabkan disiplin ini kurang dikenal. Terlebih lagi adanya dominasi sosiologi yang begitu kuat pada saat bersamaan. Kedekatan objek kajian sosiologi dengan sosiatri membuat ilmu ini dipandang hanya satu cabang sosiologi. Bahkan, ada juga yang mengangap ilmu ini sengaja diadakan untuk sekedar meramaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Kekeliruan ini disebabkan karena ilmuwan tersebut tidak memandang sosiatri sebagai suatu kepaduan dari aspek-aspeknya, melainkan hanya memandang aspek sosiatri secara spatial. Pada awal perkembangannya, sesuai dengan masalah yang dihadapi pada objeknya, sosiatri banyak mengandalkan ilmu-ilmu sosial yang telah mapan, seperti sosiologi, patologi sosial, dan pekerjaan sosial. Teori-teori dari disiplin tersebut digunakan sosiatris untuk mendukung kerjanya. Metode atau instrumen yang diterapkan memiliki kedekatan dengan ilmu yang menjadi acuan. Metode tersebut antara lain social case work, social analysis, dan treatment behaviour. Pendekatan yang dilakukan di dalam melaksanakan kerja sosiatris adalah pendekatan individual dengan penekanan pada pekerjaan sosial. 

Pada fase pemantapan terjadi perubahan cukup besar dalam paradigma sosiatri. Fase ini ditandai dengan pemantapan struktur ilmu sosiatri dengan dibukanya jurusan sosiatri pada beberapa universitas di Jawa dan di luar Jawa. Universitas tersebut antara lain: Universitas Tanjungpura di Pontianak, Universitas Mulawarman di Samarinda, Universitas Sam Ratulangi di Manado, Universitas Darul Ulum di Jombang, Universitas Cokroaminoto di Yogyakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iskandarmuda di Aceh, dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik APMD di Yogyakarta (Seotomo, 1987). 

Pembukaan jurusan sosiatri di beberapa universitas di luar Universitas Gadjahmada merupakan pengakuan formal yang memperkuat posisi keilmuan sosiatri di dalam negeri. Seiring dengan kondisi tersebut, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan besar. Beberapa masalah pada awal kemerdekaan dapat diatasi, namun muncul masalah baru yang merupakan ekses dari pembangunan. Ekses pembangunan menuntut perubahan objek sosiatri menjadi masalah dan hambatan yang timbul dari usaha pembangunan masayarakat yang perlu diantisipasi, diatasi, dan diperbaiki untuk melancarkan pembangunan berkelanjutan. Masalah-masalah khusus dari objek formal tersebut terdiri dari: kesenjangan antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya, keberhasilan Program Keluarga Berencana yang menghadirkan fenomena berkurangnya jumlah Siswa Sekolah. 

Dasar, mutu pendidikan yang tidak merata antara desa dan kota, timbulnya konglomerasi di bidang ekonomi, berbagai akibat negatif pengabaian sektor pertanian, dan hambatan pengembangan mentalitas wirausaha di kalangan pengusaha kecil dan menengah. 

Teori, metode kerja keilmuan, dan model keilmuan sosiatri mengalami perluasan dan perkembangan pesat. Teori-teori yang dikembangkan dalam mengkaji sosiatri diusahakan mencakup perpaduan yang tepat dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai. Kondisi tersebut jelas terlihat dari titik perhatian sosiatri yang mengarah pada pembangunan masyarakat (community development) dan pada pendekatan komunitas. Dalam kerjanya, sosiatris mulai mengembangkan perannya di berbagai bidang, antara lain sebagai katalisator, promotor, animator, administrator, inovator, motivator, guru dan orang tua, komunikator, dinamisator, dan stabilisator (Sugiyanto, 2002). Sosiatri pada fase kedua memperkuat posisi sebagai disiplin ilmu sosial yang memiliki spesifikasi khusus dan khas, melalui identifikasi aspek¬aspek keilmuannya yang semakin jelas dan semakin memperoleh pengakuan dari kalangan akademis. 

Fase terkini dari perkembangan sosiatri ditandai dengan adanya kesempatan yang cukup mantap bagi sosiatris untuk mengembangan secara mandiri spesialisasi dan kompetensi keilmuannya dalam pembangunan masyarakat. Pengakuan sosiatris dikukuhkan dengan penerimaannya dalam membantu berbagai proyek pengelolaan pembangunan. Para sosiatris telah berkarya di Departemen Sosial, departemen Transmigrasi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Koperasi, dan departemen Penerangan (Sugiyanto, 2002). Selain itu, banyak pula sosiatris yang telah diikutsertakan dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (non government organization/NGO) dari dalam maupun luar negeri. Sosiatris juga telah bekerja di bidang jurnalistik dan terlibat sebagai pendidik. Kedudukan dan peran sosiatris di dalam lingkup ilmuwan jelas memperoleh kesempatan luas pada fase ini. 

Objek sosiatri pada fase ketiga diarahkan pada penyelarasan kebutuhan manusia dengan sumber daya. Kerangka model kajian sosiatri meliputi: mentalitas yang lemaha pada masyarakat untuk mandiri dalam pembangunan komunitas, efek negatif kemajuan pendidikan, habis dan semakin menipisnya sumber daya tertentu, distribusi-alokasi sumber daya manusia yang tidak merata di nusantara, timbulnya berbagai kejahatan modern, dan berbagai masalah akibat pengungsian dan pemukiman kumuh di perkotaan. Fokus ilmu sosiatri pada fase ini diarahkan pada pembangunan dan pengembangan mental warga masyarakat. Pendekatan yang dilakukan memadukan pendekatan komunitas dengan pendekatan individual. Sosiatris tidak lagi hanya mengandalkan pada ilmu sosial lain untuk menunjang kerja profesionalnya. Berbagai hasil kerja yang telah terdokumentasi dengan baik pada fase sebelumnya menjadi akar yang kuat untuk membangun metode dan aspek teoritis ilmu ini. Salah satu pendekatan penelitian yang memungkinkan perkembangan tersebut adalah grounded research . Pemantapan sosiatris pada fase ini dilakukan baik di luar maupun di dalam kampus. Pada kalangan kampus, usaha pembinaan mahasiswa melalui kegiatan praktikum dan penelitian skripsi, termasuk pengembangan penelitian-pengabdian masyarakat di kalangan dosen merupakan cara utama pemantapan kedudukan sosiatri sebagai cabangilmu sosial. Usaha seminar, diskusi, termasuk pengembangan penulisan kajian tentang sosiatri juga merupakan jalur yang terus diusahakan dalam pengembangan sosiatri. Cara kerja sosiatris yang khas di berbagai lingkup masyarakat merupakan jalur pemantapan sosiatri yang paling efektif di luar kampus.


Penutup
Memahami hakekat, keberadaan, ruang lingkup, profesi, dan bidang kerja sosiatri memang tidak mudah. Kendala-kendala terhadap hal tersebut dapat bersumber dari dalam kalangan sosiatri sendiri dan juga berasal dari kalangan luar. Keraguan di sebagian kalangan ilmuwan sosial terhadap ilmu sosiatri sebagai cabang ilmu sosial merupakan hambatan perkembangan yang paling utama. Dominasi Barat terhadap perkembangan ilmu sering menyebabkan ilmu yang berkembang di luar Eropa bukan merupakan sebuah ilmu yang sah. Kondisi ini terjadi pada sosiatri yang kemunculannya di Indonesia. Sosiatris dan kalangan yang memperhatikan sosiatri kurang melakukan promosi dan mengenalkan disiplin ini kepada publik. Sebenarnya promosi ilmiah dapat dilakukan terutama dengan menulis publikasi pada media massa dan buku teks. Visi dan misi sosiatris yang juga belum menyatu (baca: belum kompak). Sebagian sosiatris masih menyangsikan keberadaan diri dan ilmu yang dipelajarinya sebagai cabangilmu sosial. Jika kendala-kendala tersebut dapat diatasi, maka jelas sosiatri dapat dengan mantap berkembang menjadi cabang ilmu sosial yang bermanfaat dalam pembangunan masyarakat Indonesia.


Daftar Referensi
  1. Horton, Paul B., dan Robert L. Horton. (1991). Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. (1993). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
  2. Lauer, Robert H. (1993). Perspektiftentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
  3. Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. (2003). Teori-teori Sosiologi Modern. Jakarta: Predana Media.
  4. Soekanto, Soerjono. (1994). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
  5. Soemardjan, Selo, dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
  6. Soetomo. (1987). Ilmu Sosiatri: Lahir dan berkembang dalam Keluarga Besar Ilmu Sosial. Dalam Sosiatri, Ilmu, dan Metode. Ed. Agnes Sunartiningsih. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sosiatri Fisipol UGM.
  7. Sugiyanto. (2002). Lembaga Sosial. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Wirjosumarto. Sartono. (1978). Pen gantar Ilmu Sosiatri. Yogyakarta: Fisipol UGM.