Pembajakan atas hasil karya kreatif dan karya cipta di Indonesia berkembang dengan pesat dan terkesan tidak tertangani dengan baik. Padahal sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect Intellectual Property Rights), seharusnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual dapat dilaksanakan maksimal. Data terakhir dari Business Software Alliance (Kompas, 2 Juli 2005) justru menunjukkan bahwa selama tahun 2004, Indonesia berada diperingkat ke-5 pembajakan peranti lunak terbesar, yaitu sebesar 87%.
Penjual-penjual keliling yang menjajakan door to door juga tidak kurang jumlahnya. Bahkan film-film yang penayangan perdananya belum dilakukan di bioskop sudah dapat dengan mudah diperoleh DVD atau VCD-nya. Pada intinya dapat ditegaskan bahwa jalur perdagangan barang bajakan memang terbentang cukup luas di Indonesia. Selain film dan lagu, berbagai software komputer dan video game juga dapat diperoleh bajakannya pada tempat-tempat yang sama. Namun memang dibandingkan dengan beberapa negara lain, pembajakan peranti lunak di Indonesia masih tergolong rendah.
Penumpulan Kreasi dapat terjadi akibat pembajakan berbagai karya (Kompas, 2 Juli 2005)Pembajakan peranti lunak di Indonesia belum sampai pada tingkat penggandaan yang luar biasa. Penggunaan peranti lunak bajakan di Indonesia, termasuk di Pontianak terutama banyak dilakukan untuk kepentingan penanganan pekerjaan kantor dan penggunaan di Home PC. Penggunaan piranti-piranti lunak bajakan tersebut tidak terlepas dari mahalnya dana yang dibutuhkan untuk pengadaan berbagai piranti lunak yang usefullable bagi masyarakat pengguna piranti lunak. Produk-produk “Microsoft” merupakan piranti lunak yang paling banyak digunakan secara ilegal di tanah air. Jika asli dari piranti lunak tersebut bisa di atas ratusan dolar, maka para pengguna komputer di Indonesia umumnya menerima paket instant siap pakai ketika mereka membeli PC ataupun notebook.
Pada awal tahun 2005, pengusaha warnet di Pontianak juga turut di razia. Warnet-warnet tersebut tutup dalam beberapa hari dan berusaha membenahi diri, mengganti perangkat lunak bajakannya dengan berbagai piranti open source (free software). Namun sepertinya razia tersebut tidaklah sepenuh hati dan tidak benar-benar untuk tujuan penegakan hukum. Setelah beberapa bulan, berbagai free software yang dapat diakses secara open source tersebut juga sudah berganti kembali pada software-software semula yang lebih usefullable di kalangan pelanggan warnet. Program-program komputer tersebut tentu saja jelas merupakan barang-barang bajakan yang pernah digunakan sebelum razia. Pemerintah daerah dan aparat kepolisian juga terkesan kembali membiarkan pelanggaran HAKI dilakukan.
Selain kasus baru yang disajikan, masih banyak pula kasus-kasus lama di bidang HAKI yang sepertinya tidak terselesaikan di Indonesia. Berbagai pelanggaran atas hak cipta di bidang karya seni banyak menimpa seniman-seniman tanah air. Lagu-lagu yang diciptakan oleh para seniman di Indonesia banyak yang tidak memperoleh royalti layak, bahkan dalam pembuatan kontrak dengan produser rekaman – seringkali mereka dirugikan. Pance Pondaah, James F. Sundah, dan Bimbo adalah beberapa nama artis yang pernah merasakan lemahnya perlindungan terhadap hak cipta atas karya-karya mereka. Banyak mereka di hari tuanya tidak menikmati sama sekali hasil karyanya dan hidup dalam kondisi kemiskinan.
Jika dibandingkan dengan Malaysia, penegakan HAKI di Indonesia boleh dikatakan sangat bertolak belakang. Siti Nurhalizah dengan Kris Dayanti yang sangat berbeda peringkatnya dalam ajang Asia Bagus, di mana Siti peringkat ke-5 sedangkan KD di peringkat I, dalam bidang honor dan penghargaan terhadap karya, Siti lebih baik dibandingkan dengan KD (Kompas, 2 Juli 2005). Malaysia sangat concern dalam menangani masalah hak cipta dibandingkan dengan Indonesia. Sejak tahun 1980-an para pemusik dan artis di negeri Jiran tersebut sudah didampingi lawyer dan publisher yang sangat menghargai penegakan hak cipta.
Pelanggaran hak cipta dan karya intelektual juga terjadi di dalam karya-karya cetak. Tidak jarang berbagai buku difotokopi berulang-ulang tanpa seijin dari penerbit dan pengarangnya. Bahkan di tingkat perguruan tinggi juga kadang-kadang terjadi jiplak-menjiplak skripsi, tesis, dan desertasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa di luar batas pengawasan banyak karya-karya asing yang kemudian disadur menjadi skripsi, tesis, atau desertasi dan akhirnya menghasilkan sarjana-sarjana di Indonesia.
Pembajakan dan pelanggaran HAKI pada dasarnya sama dengan pencurian Dalam sejarahnya, sebenarnya Hak Cipta di Indonesia sudah mulai diatur pada tahun 1982. waktu itu dibuat UU No.6 Tahun 1982 yang kemudian diubah dengan UU No 7 tahun 1987 dan diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 1997, dan terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2002. Dari konteks hukum, sebenarnya UU baru tentang hak cipta sudah sangat progresif dan memadai dalam penegakan HAKI di Indonesia. UU No.19 tahun 2002 sudah memisahkan hak cipta dengan hak rekaman master, seperti yang lazimnya dilakukan di tingkat Internasional.
Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs, Indonesia juga tunduk pada berbagai konvensi internasional yang berada dalam lingkup TRIPs. Konvensi-konvensi tersebut terutama penting, karena dalam kasus HAKI Indonesia juga dapat terlibat kasus dengan negara lain. Beberapa konvensi internasional yang menjadi dasar hukum HAKI antara lain adalah: (1.) Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Good yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994. (2) Konfensi Paris yang diratifikasi melalui Keppres No 15 tahun 1997. (3) Patent Cooperation Treaty (PCT) yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997. (4) The Berne Convention for Protection of Literary and Artistic Works yang telah disahkan melalui Keppres No.18 Tahun 1997 sebagai basis minimal perlindungan. (5) The World Intelectual Property Organization (WIPO) Copyright Treaty (WCCT) dan WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) yang telah disahkan melalui Keppres No. 19 Tahun 1997
Sedangkan dasar hukum nasional yang telah ditetapkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan HAKI di Indonesia adalah:
- UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
- UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
- UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
- UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
- UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu (DTLST)
- UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
- Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2001 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman
Kasus hukum bisnis HAKI mencakup para pihak yang cukup luas dan kalangan yang sangat majemuk. Para pihak yang dapat terkait dalam kasus hukum bisnis di bidang HAKI dapat saja antara penyanyi, artis, pencipta lagu (seniman) dengan produser atau pengusaha rekaman. Selain itu kasus juga dapat melibatkan antara pencipta peranti lunak, perusahaan pemegang lisensi dengan masyarakat pengguna peranti lunak. Kasus hukum juga dapat terjadi antara pemerintah dengan pemerintah, pengusaha dengan pengusaha, pengusaha barang bajakan dengan seniman, dan masih banyak lagi. Pada intinya kasus hukum bisnis dapat terjadi antara pihak pemilik karya yang dirugikan dengan pihak yang telah dianggap merugikan, karena melakukan pelanggaran terhadap HAKI. Sebenarnya dalam kaitannya dengan kasus antarpihak manapun, pemerintah juga terlibat di dalamnya. Sebab pemerintah memperoleh pendapatan (pajak) dari berbagai karya original HAKI tetapi dirugikan dengan adanya pelanggaran dan pembajakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar