Print friendly

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

18 Jul 2011

Kemiskinan Mental

Tujuan pembangunan sosial di setiap negara dan tujuan pembangunan universal menetapkan upaya pengentasan kemiskinan. Tentunya kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktural disebabkan oleh sistem di sekitar tempat hidup manusia tidak memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Sistem tersebut dapat berupa daerah pascaperang, daerah pascabencana, atau daerah yang wilayahnya tandus. Kemiskinan struktural juga dapat timbul akibat adanya kendala fisik pada manusia untuk dapat melakukan tugas produktif, seperti tua, sakit mental, dan cacat fisik permanen.

Sementara di masa kini, pada sebagian besar negara berkembang, justru kemiskinan yang muncul adalah kemiskinan mental. Kemiskinan mental tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat kelas bawah saja. Kemiskinan mental bahkan juga dialami oleh sebagian masyarakat kelas menengah dan atas.

Kemiskinan mental teridentifikasi dari banyaknya orang yang mengaku miskin. Kemiskinan mental terwujud dalam bentuk korupsi yang merajalela. Kemiskinan mental terjadi di tataran aktivitas ekonomi, ketika produktivitas rendah karena kompensasi yang diterima dirasa tidak layak. Kemiskinan mental juga terjadi karena pengangguran sukarela.

Pada saat pemerintah menentukan kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), terjadi kericuhan luar biasa. Banyak orang yang merasa layak dan pantas untuk menerima bantuan tersebut. Ekspresi yang diwujudkan ketika merasa kelayakannya tidak terpenuhi adalah marah, kesal, dan berteriak-teriak.

Demikian juga ketika ada pembagian zakat. Berduyun-duyun orang yang merasa pantas mendapatkannya rela antri berjam-jam. Bahkan, rela mati terinjak-injak dalam antrian tersebut.

Uang BLT dan zakat juga tidak jarang disunat. Rupanya pejabat-pejabat yang mengurus tidak kalah merasa miskin. Mereka merasa layak dan pantas mendapatkan bagian dari donasi tersebut. Ketika mengurus berbagai keperluan di kantor pelayanan publik, petugas meminta uang rokok, uang obat nyamuk, dan uang pelicin untuk kelancaran proses. Kalangan ini tampaknya tidak kalah miskinnya dengan pengemis. Rupanya gaji yang diperoleh belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Muncul dari mana sebenarnya mentalitas kemiskinan tersebut? Jawabannya tentu juga sangat beragam. Budaya masyarakat, kebijakan pemerintah, dan pendidikan turut memberikan andil dalam terbentuknya kemiskinan mental.

Kita tentu masih ingat pepatah yang mengatakan, “makan gak makan yang penting ngumpul” atau “sedang berdiang nasipun masak”. Budaya kekeluargaan, penanaman hidup enak dan santai, serta alam yang memiliki banyak potensi turut menumbuhkan mental malas pada sebagian warga masyarakat kita. Tanpa harus bersusah payah, orang lain dalam keluarga masih mampu memberinya makan. Inilah yang membuat adanya orang-orang yang rela menganggur dan lebih memilih untuk mengaku miskin dan menunggu belas kasih dari orang-orang dekatnya.

Kebijakan pemerintah, seperti BLT dan juga berbagai program pengembangan masyarakat kecil juga turut menanggung dosa membuat masyarakat kita miskin secara mental. Tidak ada realisasi meningkatnya produktivitas orang yang menerima BLT. Bantuan kepada masyarakat kecil dalam bentuk pinjaman, jika pada akhirnya gagal berkembang juga tidak akan ada sanksi hukum yang jelas. Bantuan dalam bentuk kredit dan pinjaman pada akhirnya berubah menjadi hibah yang sangat dinantikan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga hanya sibuk menangani korupsi di tingkat panggung sandiwara. KPK tidak pernah memantau berapa jumlah uang rakyat yang terkorupsi di dalam pelayanan publik, seperti pengurusan KTP, paspor, SIM, dll. Berapa jumlah pungutan liar yang nilainya bahkan melebihi yang dapat diterima kas negara yang masuk ke kantong pribadi para pejabat publik di jajaran menengah dan bawah.

Pendidikan nilai, seperti “take and give” turut menghasilkan pribadi-pribadi yang berpotensi melakukan korupsi. Orang yang melakukan korupsi jelas penderita penyakit kemiskinan mental. Di tataran sekolah, siswa bersedia aktif bertanya, menanggapi, atau mengerjakan tugas jika ada nilai atau skor. Jika tidak ada nilai atau skor, mereka tidak akan belajar secara mandiri. Padahal justru dengan belajar giat, reward yang diterima adalah peningkatan kompetensi pribadi.

Kemiskinan mental telah mengurat-akar dalam masyarakat kita. Upaya mengatasinya tidak dapat dijalankan dengan program pengentasan kemiskinan saja. Mengatasi kemiskinan mental harus dimulai dari kesadaran pribadi, pendidikan melalui keluarga, dan peran aktif masyarakat dalam mendidik generasi-generasi baru yang antikemiskinan mental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar