Print friendly

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

18 Jul 2011

Penegakan hukum di wilayah perbatasan Indonesia


Kasus pencurian sepeda motor dan ternak di Indonesia bukanlah sebuah kasus baru. Tindakan tersebut termasuk masalah hukum yang paling banyak terjadi dan ditangani kepolisian. Pada dasarnya kasus pencurian sepeda motor dan ternak tidak dapat dipandang sebagai sebuah kasus pidana saja, melainkan mencakup pula ruang lingkup hukum yang lebih luas, termasuk di dalamnya hukum bisnis.

Tindakan pencurian sepeda motor dan ternak ditinjau dari aspek hukum pidana merupakan pelanggaran yang berdimensi sosial. Para pelaku pencurian dapat saja melakukan tindakan kriminal dengan tujuan mendapatkan uang guna bertahan hidup, karena tidak memiliki pekerjaan. Ada pula pelaku yang mengaku mencuri untuk biaya operasi atau pengobatan anggota keluarga. Beberapa pelaku yang masih tergolong usia muda, bahkan melakukan pencurian hanya karena ingin memiliki motor. Pada intinya banyak alasan-alasan subyektif yang dapat dikemukakan pelaku kejahatan pencurian.

Hasil aksi kejahatan berupa motor dan ternak tentunya akan dijual oleh para pelaku kejahatan. Berbagai macam cara dilakukan untuk menjual hasil curian tersebut. Jika hasil curian berupa kendaraan, dapat saja dijual setelah kendaraan tersebut dipretelin. Dapat pula kendaraan bermotor tersebut dijual kepada penadah. Rentetan lebih jauh dari penadahan hasil curian adalah pemalsuan berbagai dokumen kendaraan bermotor. Dengan demikian selain berdimensi pidana, kasus pencurian ini juga menyangkut beberapa pelanggaran yang dapat dikaji dengan dimensi Hukum Bisnis.

Permasalahan pencurian sepeda motor dan hewan ternak (sapi), jika menyangkut warga dari negara yang sama tentu akan lebih mudah untuk diselesaikan ketika pelaku tertangkap. Kasus yang disajikan Forum Keadilan No 18, 7 September 2003, menyangkut tindakan pencurian yang dilakukan warga negara lain terhadap milik warga Indonesia. Tentu saja tidak akan mudah untuk menangkap pelaku, dan jika tertangkap, proses hukum terhadap para pelaku juga akan berekses pada hubungan antarnegara.

Masalah yang ada menjadi semakin rumit, ketika para pencuri melintasi batas-batas negara dengan cara yang tidak legal. Sementara aspek “tidak legal” dari lintas batas warga tersebut tidak dapat dengan begitu saja bisa ditangani akibat suatu perubahan tatanan yang memang masih baru dalam proses hubungan kebangsaan Indonesia dengan Timor Leste. Timor Leste memiliki hubungan historis yang sangat mendalam dengan Indonesia dalam periode waktu yang panjang. Timor Leste pernah menjadi salah satu propinsi di Indonesia dalam proses sejarah pengintegrasian pada tahun 1978. Proses panjang sejarah pada akhirnya selesai ketika sebagian besar rakyat Timor Leste memilih untuk menjadi sebuah negara merdeka berdasarkan jajak pendapat 30 Agustus 1999.

Sejarah Timor Leste yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia membuat warga yang ada di kedua negara juga memiliki hubungan historis bahkan perkerabatan yang sangat erat. Tidak jarang karena memiliki kekerabatan, warga di perbatasan kedua negara melakukan lintas batas untuk saling berkunjung satu sama lain. Hanya saja lintas batas tersebut tidak melalui prosedur yang resmi (dalam arti dilengkapi dengan dokumen, misalnya paspor). Warga Timor Leste maupun warga Indonesia di Nusa Tenggara Timur seringkali melalui “jalan-jalan tikus” melintas ke wilayah negara lain untuk saling berkunjung.

Di lihat dari segi sosial, hubungan tersebut memang tidak dapat dihindari dan tidak mudah untuk dicegah. Bahkan tentara Timor Leste ataupun TNI yang dalam batas-batas tertentu mengetahui keadaan tersebut masih membiarkan terjadinya lintas batas “ilegal”. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena masih adanya kelonggaran-kelonggaran yang diberlakukan selama seluruh perangkat sistem pengatur batas-batas negara yang jelas antara RI dan Timor Leste belum ditetapkan. Memang pada saat artikel pada Forum Keadilan dibuat, antara RI dan Timor Leste masih berlangsung beberapa pertemuan untuk membuat kesepakatan batas-batas wilayah. Benturan-benturan kepentingan dan juga pengetatan sistem keimigrasian antara kedua negara belum dapat dilakukan secara konsisten. Kekuatan hukum penuh juga belum dapat ditegakkan, karena belum dimiliki perangkat peraturan yang jelas dan tegas.

Ilegalitas melintasnya warga Timor Leste ke Indonesia, meskipun berdasarkan status hukum kenegaraan sudah jelas, namun dari sisi kemanusiaan tentunya dalam masa-masa peralihan masih dapat terjadi berbagai kekurangan penegakan sistem hukum yang ada. Berdasarkan Ketetapan MPR RI No V/MPR/1999, secara jelas telah diakui keberadaan Timor Leste sebagai sebuah negara merdeka oleh RI. Kondisi ini dari segi hukum memberikan ketegasan bahwa batas-batas hubungan antar warga dan lintas teritorial negara juga sudah harus segera dibenahi. Pembenahan itu sendiri memang menjalani waktu yang panjang.

Masalah legalitas dan ilegalitas keberadaan warga Timor di Indonesia ataupun warga Indonesia di Timor jika dikaji berdasarkan hukum formal juga masih memiliki sangat banyak kelemahan. Hukum-hukum formal yang berlaku masih merupakan produk sebelum jajak pendapat di Timor-Timor. Salah satunya yang terkait dengan kasus ini adalah Undang-undang Imigrasi dan berbagai peraturan yang berhubungan dengan keimigrasian. Undang-undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang berlaku saat ini dibuat dalam suatu kondisi di mana Timor masih merupakan wilayah RI. Tentunya akan sangat sulit untuk menggunakan kerangka pengendalian terhadap masalah migrasi penduduk Timor dan RI melalui peraturan ini.

Sementara itu undang-undang keimigrasian baru yang sudah mulai memperhatikan perkembangan terbaru belum disahkan. Berbagai peraturan negara yang terkait dengan keimigrasian juga masih sangat jauh dari aspek perhatian terhadap masalah batas wilayah Timor Leste—RI, karena berbagai kelemahan masih saja ditemukan di dalam penentuan batas wilayah negara-negara lain yang telah lama berhubungan dengan Indonesia, misalnya dengan Malaysia, Singapura, dan Australia.

Jangankan selama masa awal saat Timor Leste baru lepas dari RI, sampai pada 30 Agustus 2005 (http://www.kapanlagi.com/) Sekretaris Komisi Perantara perbatasan (Boorder Leaison Committe =BLC), Ir MT Wayan Darmawan menyatakan, “Masih ada segmen batas RI dengan Timor Leste yang bermasalah, yaitu di Dilumil, Noelbesi dan Bijael Sunan-Oben.”

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara memiliki fungsi strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah, baik untuk kepentingan intern maupun ekstern. Kepentingan intern berhubungan langsung dengan kepentingan nasional sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Bagi Indonesia, kepentingan ini sangat erat hubungannya dengan perwujudan wawasan nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Kepentingan ekstern terkait dengan hubungan antarnegara pada skala regional dan internasional. Tidak dapat dihindari sebagai sebuah negara yang diakui kedaulatannya tentu berhubungan dengan negara-negara lain di tingkat internasional. Perbatasan yang jelas pada sebuah negara memberi kesempatan bagi negara tersebut untuk mempertahankan kedaulatan dan eksistensi berkembang di tataran Internasional.

Posisi geografis RI sangat berkaitan dengan perbatasan wilayah antarnegara sangat rawan. Menurut Kolonel Ctp Juni Suburi (http://www.mabesad.mil.id/artikel), posisi geografis RI yang diapit oleh dua benua mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan di darat terdiri dari 3 negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesis mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas landas kontinen, dan batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filiphina, Palau, PNG, Timur Leste, dan Australia. Kekuatan hukum batas laut ini juga telah diatur melalui ratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 melalui Peraturan Pemerintah RI Tahun 1985 dan Undang-undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perkembangan hubungan internasional yang begitu cepat dalam masa globalisasi pada akhirnya membuat keberadaan semua perangkat hukum tersebut menjadi kehilangan kekuatan dan keterkinian dalam mengatur hubungan internasional. Sengketa Sigitan, Lipadan, dan Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia; Masalah Celah Timor antara Indonesia – Australia – Timor Leste; dan Penetapan batas-batas baru antara Indonesia-Malaysia dan Indonesia – Timor Leste merupakan beberapa perkembangan aktual yang membuat segala perangkat hukum dalam pengaturan perbatasan menjadi semakin nampak usang dan perlu segera diperbaharui.

Banyak faktor yang menyebabkan penanganan perbatasan negara tidak mudah diselesaikan. Masalah ini bahkan memerlukan suatu penanganan yang sangat seirus dan lintas sektoral atau interdepartemental. Setiap negara memang memiliki kewenangan untuk menetapkan sendiri batas-batas wilayahnya. Namun mengingat batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah atau perairan kedaulatan (yurisdiksi) dan otoritas negara lain, maka penetapan tersebut harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain sehingga perlu ada suatu kerjasama.

Kerjasama regional di bidang survei dan penegasan batas wilayah darat antara RI dengan negara tetangga selama ini biasanya tertuang dalam bentuk MoU dan perjanjian penetapan garis batas laut dan batas darat. Kerjasama tersebut memang dapat dilaksanakan, tetapi tidak jarang di dalam jalannya juga mengalami benturan-benturan. Kondisi lain yang turut mempersulit posisi Indonesia adalah, meskipun MoU dan persetujuan tersebut telah disepakati dan dibuat, kekuatan hukum melalui penatapannya dengan undang-undang kadang-kadang tidak dilakukan. Kondisi kekosongan hukum tersebut menyebabkan posisi Indonesia menjadi lemah ketika mendapatkan rongrongan dari bangsa lain. Kenyataan ini terbukti dari harus direlakannya Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.

Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berpotensi, memang sangat rentan terhadap berbagai masalah perbatasan. Kekurangan sumber daya manusia yang potensial untuk menangani masalah tersebut membuat wilayah Indonesia yang berada di perbatasan dengan negara lain akan sangat mudah dicaplok oleh negara didekatnya. Realitas dari hal tersebut adalah bergesernya batas-batas antarnegara yang telah dibuat dan disepakati di sepanjang batas darat beberapa kawasan, misalnya antara Indonesia – Malaysia di Kalimantan Barat dan Papua dengan PNG. Segmen-segmen (gap) di sepanjang perbatasan antarnegara yang lama masih banyak yang belum diselesaikan. Sekarang ini dengan keberadaan Timor Leste tentunya segmen tersebut semakin bertambah dan menjadi PR tambahan bagi penanganan masalah perbatasan untuk pemerintah.

Persoalan wilayah perbatasan bukan hanya sekedar menegaskan garis wilayah atau batas negara saja. Penetapan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan prosedur dan mekanisme hukum yang jelas. Itikad baik dalam melaksanakan MoU, persepakatan, dan juga hukum yang dibuat juga perlu mendasari hubungan baik antarnegara. Tidak kalah penting, pengelolaan wilayah batas negara dan segala kebijaksanaan yang menyertainya juga harus melibatsertakan warga negara, khususnya yang berada di daerah perbatasan secara aktif.
Kasus-kasus yang selama ini banyak terjadi di perbatasan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi:

  1. Pelanggaran prosedur keimigrasian, yaitu pelintas batas secara ilegal. Masalah ini juga yang berekses pada banyaknya jumlah TKI bermasalah di Malaysia dan menyelundupnya pelaku kejahatan/teroris.
  2. Penyelundupan barang/orang secara illegal. Kasus ini sekarang ini berkembang dalam bentuk trafficking (wanita dan anak-anak) dan perdagangan barang-barang “haram” (narkotika dan obat terlarang).
  3. Pencurian sumber daya alam pada wilayah-wilayah yang sulit atau jauh dari jangkauan pengawasan, misalnya pembalakan hutan secara ilegal, pencurian ikan dan sumber daya laut lain
  4. Pemidahan tanda-tanda (patok) batas wilayah yang sangat sederhana oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
  5. Meningkatnya kriminalitas, pencurian hasil bumi, ternak, kendaraan bermotor yang kemudian diselundupkan lewat jalan tikus baik ke luar maupun ke wilayah RI.


Kasus-kasus tersebut tidak terlepas dari sistem pengamanan perbatasan kita yang belum memadai. Bahkan ada kecurigaan masyarakat bahwa pihak keamanan sepertinya berkolusi dengan para pelaku karena juga memperoleh keuntungan dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sebagai bagian dari masyarakat internasional tentunya batas-batas yang jelas secara yuridis perlu mendapatkan pengakuan baik secara regional maupun internasional. Tidak kalah pentingnya, pengakuan tersebut juga perlu dimengerti dan dipahami masyarakat maupun aparat penegak hukum, khususnya yang berada atau yang berinteraksi dengan masyarakat di wilayah perbatasan.

Persoalan secara fisik bagi pengguna peta wilayah perbatasan apabila menggunakan peta dasar Topografi yang overlap dengan border line (garis batas) di mana berbeda sistem proyeksi dan datum referensinya, walaupun bisa dilakukan penyesuaian perhitungan transformasinya, namun perlu pengujian posisi di lapangan. Permasalahan di laut, khususnya berkaitan dengan masalah kapal-kapal nelayan asing dan pencurian ikan ditinjau dari sisi hukum laut internasional banyak terletak dari perbedaan persepsi dalam penarikan garis batas laut antarnegara, misalnya antara RI-Malaysia, RI-Thailand, RI-Australia. Sedangkan permasalahan di darat, terutama banyak berkaitan dengan ketidakjelasan segmen-segmen (gap) yang ada. Perselisihan segmen tersebut dapat berupa belum adanya kesepakatan atau akibat ambigius penafsiran dan ketidksadaran warga di sekitar perbatasan.

Pengelolaan perbatasan tidak dapat dilakukan secara sektoral, melainkan perlu dilakukan secara profesional dan lintas sektoral. Melalui Keppres No 161 tahun 1999, di Indonesia penanganan masalah secara koordinatif khusus berkaitan dengan masalah batas laut ditangani oleh Dewan Maritim Indonesia (DMI). Penangan kasus oleh DMI dilakukan dengan pendekatan kasuistik, ad hoc, dan berkoordinasi dengan Departemen teknis yang berkepentingan. Pada kenyataannya, dalam kasus-kasus tertentu upaya yang menjadi kendala DMI adalah seringkali sulit mempertemukan skala prioritas dalam penanganan masalah diantara departemen yang saling terkait. Meskipun demikian, dalam pengelolaan perbatasan memang tidak perlu harus membentuk badan-badan baru, lembaga dan instansi yang saling terkait harus bisa berkoordinasi dengan profesional dalam mengorganisir, menganggarkan, mendiplomasikan, dan mendokumentasikan tindakan yang dilakukan. Dalam hal ini TNI dapat menjadi koordinator dari sistem kerjasama tersebut, mengingat penanganan masalah perbatasan sangat erat kaitannya dengan masalah pertahanan dan keamanan serta kedaulatan negara.

Selain aspek kelembagaan, pengelolaan perbatasan juga perlu memperhatikan aspek-aspek yang sifatnya teknis. Aspek teknis di sini dimaksudkan sebagai faktor yang harus diperhitungkan dalam menopang penyelenggaraan pengelolaan batas wilayah negara, khususnya dalam produk survei dan pemetaan wilayah perbatasan. Kasus-kasus pelanggaran batas wilayah negara yang pernah terjadi pada akhirnya akan menggunakan sarana pembuktian atas posisi di mana terjadi pelanggaran atau sengketa di wilayah tersebut. Pada aspek teknis penggunaan teknologi memang sangat membantu dalam menentukan segmentasi dan batas-batas. Saat sekarang ini teknologi seperti General Positioning System (GPS) telah banyak digunakan untuk memberikan nilai koordinat geografis. Dalam kaitannya dengan Timor Leste, baru-baru ini penggunaan sarana Citra Satelit Ikonos dan Peta Topografi skala 1: 25.000 untuk penyesuaian spesifikasi teknis bersama. Rencana kerja kedua negara secara menyeluruh baik dilineasi maupun demarkasi direncanakan akan selesai pada tahun 2005. Sampai dengan bulan Agustus tahun 2005 berdasarkan laporan hasil Kerja Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menlu Timor Leste, Jose Ramos Horta (http://www.kapanlagi.com/), telah 96% batas wilayah kedua negara yang berhasil di tuntaskan. Masalah-masalah pada beberapa segmen yang masih tersisa diharapkan dapat selesai pada akhir tahun.

Satu-satunya masalah yang sangat mendesak berkaitan dengan aspek teknis adalah pengamanan di perbatasan. Kondisi ini juga yang menjadi keluhan sebagian besar warga, terutama berkaitan dengan meningkatnya kriminalitas di wilayah perbatasan. Namun kondisi ini sebenarnya tidak secara penuh harus disalahkan kepada warga Timor. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa ada warga dari Indonesia sendiri yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Secara teknis kedua negara memang telah bersepakat untuk segera melakukan pertemuan guna membahas masalah penangan keamanan di perbatasan, mengingat pengaturan sebelumnya juga sudah habis masa berlakunya.

Aspek yuridis dalam penanganan masalah perbatasan juga tidak kalah pentingnya. Aspek yuridis sangat krusial karena sebagai negara yang berdaulat dan legitimated di dunia internasional, batas wilayah negara harus memenuhi kriteria berupa kepastian hukum, yakni ada produk hukum yang mengatur dan menetapkannya. Menurut Adi Sumardiman dari Forum Komunikasi dan Koordinasi Teknis Batas Wilayah, “Sebenarnya bentuk produk hukum suatu perbatasan terletak pada kedudukan, hak dan kewajiban yang ada pada kawasan yang dibatasi tersebut. Apabila wilayah yang dibatasi itu memuat hak dan kewajiban negara atau masyarakat yang bersifat mendasar, seperti wilayah negara, wilayah dengan hak milik, maka batas yang dibuat itu harus diatur dalam bentuk undang-undang atau setidaknya Peraturan Pemerintah.

Sebagian besar Keppres dan persetujuan batas landas kontinen dengan negara tetangga di negara kita tidak diatur dengan undang-undang. Masalah lain lagi adalah mengenai ketidakkonsistenan antara kedua negara dalam menentukan desimal batas. Apabila disimak secara jelas, banyak perjanjian-perjanjian yang dibuat berbeda dalam nilai desimal koordinat geografis (ada koordinat yang lengkap hingga sekon dan ada tanpa sekon, melainkan hanya sampai menit). Tentunya ketidaksamaan desimal nilai koordinat geografis sebagai dasar penarikan garis-garis batas wilayah yang telah disepakati dengan negara tetangga masih perlu disatukan dalam sistem referensi geografis yang tunggal, mengingat teknologi dalam penentuan posisi sekarang jauh lebih teliti dibandingkan pengukuran di masa lalu.

Dalam hal hak-hak kedaulatan dan kewilayahan, sebenarnya RI sudah mempunyai undang-undang batas perairan kepulauan. Perairan kepulauan tersebut dikelilingi oleh garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik pangkal dari pulau-pulau terluar di seluruh wilayah nusantara yang diimplementasikan dalam bentuk UU No 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Selain itu dalam PP No. 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinasi geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga diatur beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum penentuan batas.

Memang jika ditinjau dalam hubungan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste masih akan sangat panjang waktu yang dibutuhkan untuk pembenahan-pembenahan. Tetapi bagaimanapun juga pembenahan tersebut perlu segera dilakukan, karena permasalahan yang terjadi ketika masalah batas wilayah tidak memiliki ketegasan dan kejelasan adalah timbulnya berbagai pelanggaran yang dapat saling merugikan. Kerugian tersebut dapat berekses lebih lanjut pada hubungan antarnegara. Masalah-masalah yang paling krusial dan memerlukan penanganan segera lebih banyak memang berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki di wilayah-wilayah perbatasan. Pengaturan secara jelas hak-hak warga dari kedua negara perlu dilakukan, mengingat di wilayah perbatasan, sumber-sumber daya tersebut dapat saja menjadi sumber perselisihan.

Kepemilikan lahan, penguasaan barang tambang, batas laut, pengelolaan hasil laut, dan keamanan dalam berusaha merupakan beberapa aspek bisnis yang perlu diakomodir di dalam penanganan masalah perbatasan berkaitan dengan jaminan kepastian hukum. Selain itu yang tidak kalah penting adalah penanganan masalah “celah Timor” yang seolah-olah tenggelam dari perhatian sejak jajak pendapat di Timor.
Kekosongan dan kadaluwarsanya berbagai produk hukum di Indonesia berkaitan dengan batas wilayah yang langsung terkait dengan keberadaan negara Timor Leste memang perlu dibenahi. Beberapa perundang-undangan yang sekarang ini masih berlaku tetapi sudah tidak tepat harus segera diperbaharui. Perundang-undangan tersebut diantaranya adalah undang-undang mengenai imigrasi, undang-undang mengenai ZEE Indonesia, Undang-undang tentang Tindak Pidana Imigrasi, dan undang-undang tentang perairan nasional. Selain itu kekosongan hukum berkaitan dengan hubungan antarkedua negara juga mesti segera diadakan, diantaranya mengenai hubungan diplomatik, kerjasama perdagangan, penanganan keamanan, penanganan masalah keimigrasian, dan penanganan masalah perekonomian. Hendaknya juga segala hasil kesepakatan dan perundingantersebut tidak hanya berhenti pada tingkat MoU atau permen saja. Sudah sangat krusial bagi Indonesia apabila masalah kerjasama dan segala hal yang berhubungan dengan penangan masalah perbatasan ditetapkan dalam undang-undang.

Penetapan segala peraturan dan kesepakatan di dalam undang-undang akan memberikan kepastian dan jaminan kekuatan di dalam penegakan batas-batas wilayah di tingkat Internasional ketika terjadi perselisihan atau persengketaan antarnegara. Memang hal tersebut tidak kita harapkan, tetapi langkah-langkah antisipatif perlu dilakukan, karena tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya masalah tersebut dalam perkembangan di masa sekarang di mana kepentingan ekonomi dan politik antarnegara dapat sangat mudah mengalami benturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar