Abstrak: lmu Sosiatri sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang berkembang di Indonesia sudah memasuki tahun ke-50. Usia tersebut memang relatif masih sangat muda dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya. Sebagai ilmu baru, memang banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para sosiatris. Tantangan itu berasal dari kalangan sosiatris sendiri maupun dari ilmuwan sosial lainnya. Sosiatri sering diragukan keberadaannya sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiatri seringkali dianggap hanya sebagai penggabung-gabungan berbagai disiplin untuk menunjukkan bahwa ilmuwan Indonesia juga mampu menciptakan ilmu sendiri. Sosiatri pada hakekatnya lahir dari kepedulian terhadap masalah sosial patologis di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Dalam proses panjang, seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dan perubahan masyarakat, fokus kajian Sosiatri juga mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut tentunya disesuaikan dengan tujuan utamanya, yaitu membantu masyarakat Indonesia yang mengalami masalah sosial terlepas dari masalah, mampu berusaha sendiri , membangun masyarakatnya, dan meneruskan usaha tersebut pada masyarakat lain dalam rangka pembangunan berkelanjutan.
Pendahuluan
Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Soekanto, 1994), perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut.
Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan (Lauer, 1993). Perubahan berdasarkan arahnya dapat berupa perubahan yang progresif (kemajuan) dan dapat juga berupa perubahan yang regresif (kemunduran). Perubahan yang terjadi juga hendaknya menghindari mitos mengenai keseragaman arah gerak dari setiap struktur sosial yang ada, karena dalam setiap struktur sosial terdapat identitas khusus yang mewarnai perubahan yang terjadi, yaitu perbedaan nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku kelompok masyarakat (Soemardjan, 1974).Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat, senantiasa dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain: perubahan lingkungan fisik, perubahan penduduk, isolasi dan kontak, sikap dan nilai-nilai, struktur sosial, kebutuhan yang dianggap perlu, dan dasar budaya (Horton dan Hunt, 1991).
Pendahuluan
Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Soekanto, 1994), perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut.
Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan (Lauer, 1993). Perubahan berdasarkan arahnya dapat berupa perubahan yang progresif (kemajuan) dan dapat juga berupa perubahan yang regresif (kemunduran). Perubahan yang terjadi juga hendaknya menghindari mitos mengenai keseragaman arah gerak dari setiap struktur sosial yang ada, karena dalam setiap struktur sosial terdapat identitas khusus yang mewarnai perubahan yang terjadi, yaitu perbedaan nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku kelompok masyarakat (Soemardjan, 1974).Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat, senantiasa dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain: perubahan lingkungan fisik, perubahan penduduk, isolasi dan kontak, sikap dan nilai-nilai, struktur sosial, kebutuhan yang dianggap perlu, dan dasar budaya (Horton dan Hunt, 1991).
Selain faktor-faktor tersebut, yang paling penting adalah dinamisator di dalam kehidupan itu sendiri, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi penggerak perubahan (agent of social change). Peran dan kerja dari para penggerak perubahan tersebut juga turut menentukan dan mempengaruhi perubahan yang terjadi. Para penggerak perubahan dapat terdiri dari unsur pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kalangan terdidik (mahasiswa dan ilmuwan).
Perkembangan Sosiatri
Pembahasan perkembangan ilmu sosiatri dalam tulisan ini akan berada dalam frame kerangka konsep perubahan tersebut. Setiap perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akan mencakup juga perubahan sosial. Sosiatri merupakan ilmu sosial terapan (applied science), yang dalam pengembangannya mengandalkan realita yang terjadi di dalam masyarakat, berkaitan dengan masalah sosial yang perlu diselesaikan (pandangan awal perkembangan) dan penyesuaian kebutuhan dengan sumber daya yang ada (pandangan hasil perkembangan).
Realita dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan memiliki dimensi perubahan sosial. Sementara itu, secara keilmuan, pengembangan kajian, penelitian, dan teori-teori baru juga dituntut dari sosiatri, baik melalui hasil kerja lapangan (penelitian dan proyek sosiatri), maupun melalui berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Aktivitas ilmiah mempermudah perubahan budaya. Inovasi baru di bidang keilmuan memperoleh ruang dan kesempatan formal.
Kajian perubahan dalam sosiatri dapat dipadukan dengan konsep paradigma dari Khun (Ritzer, 1991). Konsep paradigma dari Khun sealiran dengan teori-teori perubahan. Perubahan ilmu pengetahuan menurut Khun terjadi secara revolusioner. Akumulasi hanyalah salah satu segmen di dalam proses revolusi untuk mencapai kemajuan ilmu. Revolusi ilmu menjalani proses sebagai berikut: Paradigma I --> Ilmu Normal --> Anomali --> Krisis --> Revolusi --> Paradigma II
Pada tahap ilmu normal, proses akumulasi ilmu terjadi, namun perkembangan ilmu tidak hanya terletak pada tahap ilmu normal, melainkan meliputi keseluruhan proses tersebut (Ritzer, 2003). Paradigma merupakan suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam suatu cabang ilmu. Jadi paradigma merupakan suatru bingkai atau frame yang membuat ilmuwan terfokus pada apa yang menjadi perhatiannya berkaitan dengan suatu kondisi atau objek. Paradigma dalam ilmu pengetahuan mencakup teori, pokok permasalahan metode dan instrumen, termasuk eksemplar model dari suatu objek ilmu.
Jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan sosiatri yang terinspirasi oleh analogi psikologi – psikiatri dan sosiologi – sosiatri, jelas sosiatri memiliki kedekatan dengan sosiologi. Objek material sosiatri sama dengan sosiologi, yang membedakan keduanya adalah objek formal. Objek formal sosiatri memang memerlukan dukungan dari beberapa paradigma sosiologi, sebab sosiologi memiliki multiparadigma. Namun, objek tersebut juga memerlukan dukungan disiplin ilmu sosial lain agar kerja sosiatri menjadi semakin baik, mengingat dimensi sosial-masyarakat sangat luas. Sosiatri memadukan berbagai paradigma ilmu sosial, sehingga penyelesian masalah di dalam sosiatri merupakan suatu pendekatan multiparadigma terintegrasi. Perubahan paradigma dalam ilmu sosial yang dijadikan sebagai acuan kerja dan pelaksanaan proyek sosiatri jelas akan turut mengakibatkan perubahan dalam paradigma sosiatri sebagai ilmu.
Perubahan paradigma dalam suatu ilmu pengetahuan memang bukan suatu hal baru. Kondisi ini menunjukkan proses revolusi ilmu dari Khun merupakan sesuatu yang realiabel. Di bidang ilmu alam akan dengan dengan mudah ditemukan perubahan paradigma mendasar yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan manusia. Perubahan teori geosentris menjadi heliosentris merupakan suatu revolusi dalam kosmologi yang dampaknya sangat besar. Salah satu efek sosialnya adalah perkembangan penjelajahan samudera yang menimbulkan kolonialisme dan imperialisme bangsa¬bangsa Eropa terhadap bangsa noneropa. Perubahan pemikiran mengenai abiogenesis menjadi biogenesis merupakan perubahan besar dalam biologi. Efek positifnya adalah memungkinkan perkembangan ilmu budidaya dan kajian mikrobiologi. Efek sosialnya adalah kemampuan menjawab kekhawatiran Malthus mengenai bencana kemiskinan dan kelaparan akibat ledakan jumlah penduduk.
Di bidang ilmu sosial, dapat terlihat perubahan paradigma sosiologi dan antropologi. Pada awal perkembangannya, sosiologi difokuskan pada struktur sosial dan dinamika sosial masyarakat Eropa pascarevolusi sosial dan Revolusi Industri. Kedua revolusi tersebut memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat dunia. Sosiologi mulai memperluas kajiannya pada struktur dan dinamika sosial masyarakat di berbagai belahan dunia – tidak hanya terbatas pada masyarakat Eropa saja. Antropologi yang pada awalnya memilih objek masyarakat terasing mulai melakukan reinterpretasi kajian, sehingga mencakup kehidupan suku-suku bangsa di manapun, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dari beberapa kasus perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan, arah yang dicapai memang diutamakan berupa perkembangan. Kemapanan dan munculnya spesialisasi ilmu menjadi harapan dari perubahan tersebut. Perubahan tersebut berhubungan timbal balik dengan perubahan kehidupan manusia yang menjadi pendukungnya, termasuk terutama perkembangan di kalangan ilmuwan.
Perubahan Paradigma Ilmu Sosiatri
Sosiatri sebagai ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1957. Banyak perubahan dalam masyarakat yang telah terjadi dari tahun tersebut sampai saat ini. Selama 50 tahun, tentunya telah dihasilkan sejumlah besar sosiatris. Sosiatris dalam menjalankan pekerjaannya tentu akan menghadapi perubahan masyarakat yang memungkinkan mereka menghadirkan ide-ide baru yang lebih inovatif.
Ide-ide yang dihasilkan sekaligus mengkonstruksi perkembangan bagi sosiatri. Koentjaraningrat (1993) pernah membuat periodisasi perkembangan antropologi berdasarkan pada kajian terhadap pengembangan ilmu tersebut di setiap periode. Dalam histroigrafi juga terdapat cara pengelompokkan karakteristik suatu periode historis dengan sistem tiga periode (three age system). Dengan demikian jika dilakukan analogi pada dua proses keilmuan tersebut, maka perkembangan sosiatri juga dapat dikelompokkan ke dalam fase-fase atau tahap perkembangan. Pengelompokkan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan sistem tiga periode. Alasannya jelas bahwa perkembangan masyarakat dan kajian ilmu sosial sering dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlangsung. Dari perkembangannya, sampai saat ini, sosiatri menjalani tiga periode sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Periodisasi perkembangan sosiatri yang akan dijadikan landasan untuk melihat perubahan paradigmanya dikelompokkan menjadi: Fase Awal Perkembangan (1957 – 1966); Fase Pemantapan Perkembangan (1967 – 1997); dan Fase Perkembangan (1998 – sekarang). Setiap fase perkembangan memiliki karakteristik yang dapat dilihat dari aspek objek ilmu (pokok permasalahan), teori-teori, titik perhatian, metode dan instrumen, pendekatan/eksemplar model ilmu, dan peran sosiatris.
Pada fase awal perkembangan, sosiatri masih merupakan suatu disiplin ilmu yang baru berkembang, terbatas pada Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang khusus dan secara langsung bersasaran pada keadaan dalam masyarakat. Landasan dirumuskannya spesialisasi sosiatri pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada saat itu adalah kebutuhan bangsa akan adanya tenaga-tenaga ahli yang mampu membantu melakukan penyembuhan (rehabilitasi) kondisi masyarakat yang mengalami banyak masalah sosial akibat penjajahan. Objek formal sosiatri pada fase awal perkembangan ialah masalah-masalah sosial patologis akibat penjajahan (Wirjosumarto, 1978). Masalah tersebut antara lain: kemiskinan, kebodohan, kualitas kesehatan yang buruk, ledakan jumlah penduduk, dan adanya cacat sosial dan cacat fisik.
Pengembangan sosiatri yang dilakukan secara khusus menyebabkan disiplin ini kurang dikenal. Terlebih lagi adanya dominasi sosiologi yang begitu kuat pada saat bersamaan. Kedekatan objek kajian sosiologi dengan sosiatri membuat ilmu ini dipandang hanya satu cabang sosiologi. Bahkan, ada juga yang mengangap ilmu ini sengaja diadakan untuk sekedar meramaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Kekeliruan ini disebabkan karena ilmuwan tersebut tidak memandang sosiatri sebagai suatu kepaduan dari aspek-aspeknya, melainkan hanya memandang aspek sosiatri secara spatial. Pada awal perkembangannya, sesuai dengan masalah yang dihadapi pada objeknya, sosiatri banyak mengandalkan ilmu-ilmu sosial yang telah mapan, seperti sosiologi, patologi sosial, dan pekerjaan sosial. Teori-teori dari disiplin tersebut digunakan sosiatris untuk mendukung kerjanya. Metode atau instrumen yang diterapkan memiliki kedekatan dengan ilmu yang menjadi acuan. Metode tersebut antara lain social case work, social analysis, dan treatment behaviour. Pendekatan yang dilakukan di dalam melaksanakan kerja sosiatris adalah pendekatan individual dengan penekanan pada pekerjaan sosial.
Pada fase pemantapan terjadi perubahan cukup besar dalam paradigma sosiatri. Fase ini ditandai dengan pemantapan struktur ilmu sosiatri dengan dibukanya jurusan sosiatri pada beberapa universitas di Jawa dan di luar Jawa. Universitas tersebut antara lain: Universitas Tanjungpura di Pontianak, Universitas Mulawarman di Samarinda, Universitas Sam Ratulangi di Manado, Universitas Darul Ulum di Jombang, Universitas Cokroaminoto di Yogyakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iskandarmuda di Aceh, dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik APMD di Yogyakarta (Seotomo, 1987).
Pembukaan jurusan sosiatri di beberapa universitas di luar Universitas Gadjahmada merupakan pengakuan formal yang memperkuat posisi keilmuan sosiatri di dalam negeri. Seiring dengan kondisi tersebut, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan besar. Beberapa masalah pada awal kemerdekaan dapat diatasi, namun muncul masalah baru yang merupakan ekses dari pembangunan. Ekses pembangunan menuntut perubahan objek sosiatri menjadi masalah dan hambatan yang timbul dari usaha pembangunan masayarakat yang perlu diantisipasi, diatasi, dan diperbaiki untuk melancarkan pembangunan berkelanjutan. Masalah-masalah khusus dari objek formal tersebut terdiri dari: kesenjangan antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya, keberhasilan Program Keluarga Berencana yang menghadirkan fenomena berkurangnya jumlah Siswa Sekolah.
Dasar, mutu pendidikan yang tidak merata antara desa dan kota, timbulnya konglomerasi di bidang ekonomi, berbagai akibat negatif pengabaian sektor pertanian, dan hambatan pengembangan mentalitas wirausaha di kalangan pengusaha kecil dan menengah.
Teori, metode kerja keilmuan, dan model keilmuan sosiatri mengalami perluasan dan perkembangan pesat. Teori-teori yang dikembangkan dalam mengkaji sosiatri diusahakan mencakup perpaduan yang tepat dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai. Kondisi tersebut jelas terlihat dari titik perhatian sosiatri yang mengarah pada pembangunan masyarakat (community development) dan pada pendekatan komunitas. Dalam kerjanya, sosiatris mulai mengembangkan perannya di berbagai bidang, antara lain sebagai katalisator, promotor, animator, administrator, inovator, motivator, guru dan orang tua, komunikator, dinamisator, dan stabilisator (Sugiyanto, 2002). Sosiatri pada fase kedua memperkuat posisi sebagai disiplin ilmu sosial yang memiliki spesifikasi khusus dan khas, melalui identifikasi aspek¬aspek keilmuannya yang semakin jelas dan semakin memperoleh pengakuan dari kalangan akademis.
Fase terkini dari perkembangan sosiatri ditandai dengan adanya kesempatan yang cukup mantap bagi sosiatris untuk mengembangan secara mandiri spesialisasi dan kompetensi keilmuannya dalam pembangunan masyarakat. Pengakuan sosiatris dikukuhkan dengan penerimaannya dalam membantu berbagai proyek pengelolaan pembangunan. Para sosiatris telah berkarya di Departemen Sosial, departemen Transmigrasi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Koperasi, dan departemen Penerangan (Sugiyanto, 2002). Selain itu, banyak pula sosiatris yang telah diikutsertakan dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (non government organization/NGO) dari dalam maupun luar negeri. Sosiatris juga telah bekerja di bidang jurnalistik dan terlibat sebagai pendidik. Kedudukan dan peran sosiatris di dalam lingkup ilmuwan jelas memperoleh kesempatan luas pada fase ini.
Objek sosiatri pada fase ketiga diarahkan pada penyelarasan kebutuhan manusia dengan sumber daya. Kerangka model kajian sosiatri meliputi: mentalitas yang lemaha pada masyarakat untuk mandiri dalam pembangunan komunitas, efek negatif kemajuan pendidikan, habis dan semakin menipisnya sumber daya tertentu, distribusi-alokasi sumber daya manusia yang tidak merata di nusantara, timbulnya berbagai kejahatan modern, dan berbagai masalah akibat pengungsian dan pemukiman kumuh di perkotaan. Fokus ilmu sosiatri pada fase ini diarahkan pada pembangunan dan pengembangan mental warga masyarakat. Pendekatan yang dilakukan memadukan pendekatan komunitas dengan pendekatan individual. Sosiatris tidak lagi hanya mengandalkan pada ilmu sosial lain untuk menunjang kerja profesionalnya. Berbagai hasil kerja yang telah terdokumentasi dengan baik pada fase sebelumnya menjadi akar yang kuat untuk membangun metode dan aspek teoritis ilmu ini. Salah satu pendekatan penelitian yang memungkinkan perkembangan tersebut adalah grounded research . Pemantapan sosiatris pada fase ini dilakukan baik di luar maupun di dalam kampus. Pada kalangan kampus, usaha pembinaan mahasiswa melalui kegiatan praktikum dan penelitian skripsi, termasuk pengembangan penelitian-pengabdian masyarakat di kalangan dosen merupakan cara utama pemantapan kedudukan sosiatri sebagai cabangilmu sosial. Usaha seminar, diskusi, termasuk pengembangan penulisan kajian tentang sosiatri juga merupakan jalur yang terus diusahakan dalam pengembangan sosiatri. Cara kerja sosiatris yang khas di berbagai lingkup masyarakat merupakan jalur pemantapan sosiatri yang paling efektif di luar kampus.
Ide-ide yang dihasilkan sekaligus mengkonstruksi perkembangan bagi sosiatri. Koentjaraningrat (1993) pernah membuat periodisasi perkembangan antropologi berdasarkan pada kajian terhadap pengembangan ilmu tersebut di setiap periode. Dalam histroigrafi juga terdapat cara pengelompokkan karakteristik suatu periode historis dengan sistem tiga periode (three age system). Dengan demikian jika dilakukan analogi pada dua proses keilmuan tersebut, maka perkembangan sosiatri juga dapat dikelompokkan ke dalam fase-fase atau tahap perkembangan. Pengelompokkan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan sistem tiga periode. Alasannya jelas bahwa perkembangan masyarakat dan kajian ilmu sosial sering dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlangsung. Dari perkembangannya, sampai saat ini, sosiatri menjalani tiga periode sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Periodisasi perkembangan sosiatri yang akan dijadikan landasan untuk melihat perubahan paradigmanya dikelompokkan menjadi: Fase Awal Perkembangan (1957 – 1966); Fase Pemantapan Perkembangan (1967 – 1997); dan Fase Perkembangan (1998 – sekarang). Setiap fase perkembangan memiliki karakteristik yang dapat dilihat dari aspek objek ilmu (pokok permasalahan), teori-teori, titik perhatian, metode dan instrumen, pendekatan/eksemplar model ilmu, dan peran sosiatris.
Pada fase awal perkembangan, sosiatri masih merupakan suatu disiplin ilmu yang baru berkembang, terbatas pada Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang khusus dan secara langsung bersasaran pada keadaan dalam masyarakat. Landasan dirumuskannya spesialisasi sosiatri pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada saat itu adalah kebutuhan bangsa akan adanya tenaga-tenaga ahli yang mampu membantu melakukan penyembuhan (rehabilitasi) kondisi masyarakat yang mengalami banyak masalah sosial akibat penjajahan. Objek formal sosiatri pada fase awal perkembangan ialah masalah-masalah sosial patologis akibat penjajahan (Wirjosumarto, 1978). Masalah tersebut antara lain: kemiskinan, kebodohan, kualitas kesehatan yang buruk, ledakan jumlah penduduk, dan adanya cacat sosial dan cacat fisik.
Pengembangan sosiatri yang dilakukan secara khusus menyebabkan disiplin ini kurang dikenal. Terlebih lagi adanya dominasi sosiologi yang begitu kuat pada saat bersamaan. Kedekatan objek kajian sosiologi dengan sosiatri membuat ilmu ini dipandang hanya satu cabang sosiologi. Bahkan, ada juga yang mengangap ilmu ini sengaja diadakan untuk sekedar meramaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Kekeliruan ini disebabkan karena ilmuwan tersebut tidak memandang sosiatri sebagai suatu kepaduan dari aspek-aspeknya, melainkan hanya memandang aspek sosiatri secara spatial. Pada awal perkembangannya, sesuai dengan masalah yang dihadapi pada objeknya, sosiatri banyak mengandalkan ilmu-ilmu sosial yang telah mapan, seperti sosiologi, patologi sosial, dan pekerjaan sosial. Teori-teori dari disiplin tersebut digunakan sosiatris untuk mendukung kerjanya. Metode atau instrumen yang diterapkan memiliki kedekatan dengan ilmu yang menjadi acuan. Metode tersebut antara lain social case work, social analysis, dan treatment behaviour. Pendekatan yang dilakukan di dalam melaksanakan kerja sosiatris adalah pendekatan individual dengan penekanan pada pekerjaan sosial.
Pada fase pemantapan terjadi perubahan cukup besar dalam paradigma sosiatri. Fase ini ditandai dengan pemantapan struktur ilmu sosiatri dengan dibukanya jurusan sosiatri pada beberapa universitas di Jawa dan di luar Jawa. Universitas tersebut antara lain: Universitas Tanjungpura di Pontianak, Universitas Mulawarman di Samarinda, Universitas Sam Ratulangi di Manado, Universitas Darul Ulum di Jombang, Universitas Cokroaminoto di Yogyakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iskandarmuda di Aceh, dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik APMD di Yogyakarta (Seotomo, 1987).
Pembukaan jurusan sosiatri di beberapa universitas di luar Universitas Gadjahmada merupakan pengakuan formal yang memperkuat posisi keilmuan sosiatri di dalam negeri. Seiring dengan kondisi tersebut, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan besar. Beberapa masalah pada awal kemerdekaan dapat diatasi, namun muncul masalah baru yang merupakan ekses dari pembangunan. Ekses pembangunan menuntut perubahan objek sosiatri menjadi masalah dan hambatan yang timbul dari usaha pembangunan masayarakat yang perlu diantisipasi, diatasi, dan diperbaiki untuk melancarkan pembangunan berkelanjutan. Masalah-masalah khusus dari objek formal tersebut terdiri dari: kesenjangan antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya, keberhasilan Program Keluarga Berencana yang menghadirkan fenomena berkurangnya jumlah Siswa Sekolah.
Dasar, mutu pendidikan yang tidak merata antara desa dan kota, timbulnya konglomerasi di bidang ekonomi, berbagai akibat negatif pengabaian sektor pertanian, dan hambatan pengembangan mentalitas wirausaha di kalangan pengusaha kecil dan menengah.
Teori, metode kerja keilmuan, dan model keilmuan sosiatri mengalami perluasan dan perkembangan pesat. Teori-teori yang dikembangkan dalam mengkaji sosiatri diusahakan mencakup perpaduan yang tepat dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai. Kondisi tersebut jelas terlihat dari titik perhatian sosiatri yang mengarah pada pembangunan masyarakat (community development) dan pada pendekatan komunitas. Dalam kerjanya, sosiatris mulai mengembangkan perannya di berbagai bidang, antara lain sebagai katalisator, promotor, animator, administrator, inovator, motivator, guru dan orang tua, komunikator, dinamisator, dan stabilisator (Sugiyanto, 2002). Sosiatri pada fase kedua memperkuat posisi sebagai disiplin ilmu sosial yang memiliki spesifikasi khusus dan khas, melalui identifikasi aspek¬aspek keilmuannya yang semakin jelas dan semakin memperoleh pengakuan dari kalangan akademis.
Fase terkini dari perkembangan sosiatri ditandai dengan adanya kesempatan yang cukup mantap bagi sosiatris untuk mengembangan secara mandiri spesialisasi dan kompetensi keilmuannya dalam pembangunan masyarakat. Pengakuan sosiatris dikukuhkan dengan penerimaannya dalam membantu berbagai proyek pengelolaan pembangunan. Para sosiatris telah berkarya di Departemen Sosial, departemen Transmigrasi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Koperasi, dan departemen Penerangan (Sugiyanto, 2002). Selain itu, banyak pula sosiatris yang telah diikutsertakan dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (non government organization/NGO) dari dalam maupun luar negeri. Sosiatris juga telah bekerja di bidang jurnalistik dan terlibat sebagai pendidik. Kedudukan dan peran sosiatris di dalam lingkup ilmuwan jelas memperoleh kesempatan luas pada fase ini.
Objek sosiatri pada fase ketiga diarahkan pada penyelarasan kebutuhan manusia dengan sumber daya. Kerangka model kajian sosiatri meliputi: mentalitas yang lemaha pada masyarakat untuk mandiri dalam pembangunan komunitas, efek negatif kemajuan pendidikan, habis dan semakin menipisnya sumber daya tertentu, distribusi-alokasi sumber daya manusia yang tidak merata di nusantara, timbulnya berbagai kejahatan modern, dan berbagai masalah akibat pengungsian dan pemukiman kumuh di perkotaan. Fokus ilmu sosiatri pada fase ini diarahkan pada pembangunan dan pengembangan mental warga masyarakat. Pendekatan yang dilakukan memadukan pendekatan komunitas dengan pendekatan individual. Sosiatris tidak lagi hanya mengandalkan pada ilmu sosial lain untuk menunjang kerja profesionalnya. Berbagai hasil kerja yang telah terdokumentasi dengan baik pada fase sebelumnya menjadi akar yang kuat untuk membangun metode dan aspek teoritis ilmu ini. Salah satu pendekatan penelitian yang memungkinkan perkembangan tersebut adalah grounded research . Pemantapan sosiatris pada fase ini dilakukan baik di luar maupun di dalam kampus. Pada kalangan kampus, usaha pembinaan mahasiswa melalui kegiatan praktikum dan penelitian skripsi, termasuk pengembangan penelitian-pengabdian masyarakat di kalangan dosen merupakan cara utama pemantapan kedudukan sosiatri sebagai cabangilmu sosial. Usaha seminar, diskusi, termasuk pengembangan penulisan kajian tentang sosiatri juga merupakan jalur yang terus diusahakan dalam pengembangan sosiatri. Cara kerja sosiatris yang khas di berbagai lingkup masyarakat merupakan jalur pemantapan sosiatri yang paling efektif di luar kampus.
Penutup
Memahami hakekat, keberadaan, ruang lingkup, profesi, dan bidang kerja sosiatri memang tidak mudah. Kendala-kendala terhadap hal tersebut dapat bersumber dari dalam kalangan sosiatri sendiri dan juga berasal dari kalangan luar. Keraguan di sebagian kalangan ilmuwan sosial terhadap ilmu sosiatri sebagai cabang ilmu sosial merupakan hambatan perkembangan yang paling utama. Dominasi Barat terhadap perkembangan ilmu sering menyebabkan ilmu yang berkembang di luar Eropa bukan merupakan sebuah ilmu yang sah. Kondisi ini terjadi pada sosiatri yang kemunculannya di Indonesia. Sosiatris dan kalangan yang memperhatikan sosiatri kurang melakukan promosi dan mengenalkan disiplin ini kepada publik. Sebenarnya promosi ilmiah dapat dilakukan terutama dengan menulis publikasi pada media massa dan buku teks. Visi dan misi sosiatris yang juga belum menyatu (baca: belum kompak). Sebagian sosiatris masih menyangsikan keberadaan diri dan ilmu yang dipelajarinya sebagai cabangilmu sosial. Jika kendala-kendala tersebut dapat diatasi, maka jelas sosiatri dapat dengan mantap berkembang menjadi cabang ilmu sosial yang bermanfaat dalam pembangunan masyarakat Indonesia.
Daftar Referensi
- Horton, Paul B., dan Robert L. Horton. (1991). Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. (1993). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
- Lauer, Robert H. (1993). Perspektiftentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
- Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. (2003). Teori-teori Sosiologi Modern. Jakarta: Predana Media.
- Soekanto, Soerjono. (1994). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
- Soemardjan, Selo, dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
- Soetomo. (1987). Ilmu Sosiatri: Lahir dan berkembang dalam Keluarga Besar Ilmu Sosial. Dalam Sosiatri, Ilmu, dan Metode. Ed. Agnes Sunartiningsih. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sosiatri Fisipol UGM.
- Sugiyanto. (2002). Lembaga Sosial. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Wirjosumarto. Sartono. (1978). Pen gantar Ilmu Sosiatri. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar